Oleh: Sarfan Tidore
Senin, 05 Juli 2022, tepat pukul sembilan malam kondisi alam tampak tak bersahabat—hembusan angin kadang melambat disertai gerimis, sejenak berhenti, kadang kencang sekali.
Gas motor saya kencangkan dan knalpot teriak ramai menuju Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Berhenti di depan sebuah rumah kontrakan dan motor saya parkir di pinggiran jalan setapak. Pintu rumah terbuka lebar, ada tiga orang duduk bersila berhadap meja menatap lembaran buku, kala saya melempar pandang.
Saya melangkah masuk. Pandang saya tertuju pada sosok pria berusia senja duduk bersila, dan bersandar di dinding samping pintu kamar depan. Lelaki itu menarik tembakaunya dalam-dalam lalu melepaskan kepulan asapnya, sembari nikmati secangkir kopi hitam pekat. Kelopak mata dan senyumnya melebar. Selebar pintu di belakang saya. Saya pun lempar senyum lalu berjabat tangan sambil membungkuk kepala. Sudah menjadi tradisi orang Maluku Utara. Membungkuk adalah suatu laku perbuatan memiliki nilai yang melekat dan dianut bersama yang disebut, etika berjabat tangan. Tanpa basa-basi iapun dengan nada datar menawari saya kopi. Baru habis ngopi di warung kopi, ucap saya dengan perasaan begitu senang malam itu.
Lelaki usia senja ini bernama Muhammad Jen Tidore. Biasanya disapa om Pita. Berasal dari kepulauan Sula. Demi melepas rindu, om Pita pergi ke Ternate untuk bertemu anak bungsunya yang melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Ternate.
Beberapa hari lalu saya menerima informasi dari teman saya bahwa beliau akan berangkat ke Ternate. Ada rasa gembira di lubuk hati, sebab sudah sangat lama saya ingin bertemunya untuk menggali informasi soal alat tangkap fofa (bubu). Ini adalah kesempatan terbaik, pikiran saya berkata.
Om Pita adalah generasi terakhir yang tahu dan pahami betul proses pembuatan alat tangkap ikan itu. Kesempatan itu akhirnya datang juga, dan menurut saya informasi ini sangat penting dan berharga, sebab—ada produk gagasan berada di ujung kepunahannya. Pria kelahiran 1952 ini tak kalah dalam pekerjaan—geluti dua pekerjaan sekaligus diantaranya nelayan dan petani. Dia menuturkan aktivitas melaut sejak usia 10 tahun. Gunakan perahu sampan, kail (kaihi) dan reket (nilon pancing ikan). Kaihi (kail) diikat di reket dan besi sebagai pemberat (lot)
Di ujung nilon yang jarak dari kaihi berkisar satu meter. Alat tangkap sederhana ini digunakan untuk bamai (mancing) ikan dasar.
Selain bamai (pancing), dia pun gunakan alat tangkap dan orang Sula menyebutnya fofa (igi) sebagai perangkap ikan. Fofa digunakan untuk menangkap ikan sejak dari tetenya lalu diturunkan kepada ayahnya. Saya tidak tahu pasti, katanya, bagaimana dan dari mana orang tahu cara pembuatan fofa. Tak sempat tanya pada mendiang ayahnya dari mana dan kapan orang tahu membuatnya dengan raut wajah agak sesali.
“Pengetahuan tentang fofa bisa jadi orang belajar dari alam. Fofa itu alat jebakan. Misalnya saja, di laut banyak batu dan karang yang memiliki lubang. Ikan bebas masuk-keluar, bermain, bertelur, cari makan dan tidur”.
Pengalaman lewat mata, orang berpikir bagaimana caranya dapat ikan dengan jumlah banyak. Dengan begitu, bisa saja melalui penglihatan orang kemudian berpikir untuk bikin alat tangkap serupa batu yang ikan dapat masuk, tetapi tidak dapat keluar. Pengalaman itu, dan lewat akal orang dapat ciptakan fofa, katanya menduga.
Dia menjelaskan, setahunya sejak masih kecil hingga dewasa ayahnya adalah pembuat alat tangkap fofa. Sejak kecil saya sering membantu ayah ambil bahannya di hutan dan bantu membuatnya. Hingga akhirnya, saya pun tahu membuatnya tanpa diajari secara langsung, kenangnya.
Melalui mata dan kerja, kita bisa tahu—tak perlu diajari langsung, katanya. Kalau hanya dijelaskan masih sulit kita tahu. Tetapi mengerjakan adalah cara belajar paling cepat. Dari sekian banyak anaknya, hanya satu yang mahir membuat fofa. Tetapi anaknya juga merantau, jarang pulang dan saya pun tak tahu pasti apakah dia masih tahu bikin atau tidak.
Rokok tembakau ditarik dalam-dalam lalu meniup asapnya sembari dengan nada pesimis mengatakan, sayang sekali fofa sudah jarang digunakan orang untuk menangkap ikan. Mungkin suatu ketika alat tangkap ini akan hilang, prediksinya. Padahal fofa (bubu) adalah satu dari sekian alat tangkap ikan tradisional yang tidak merusak ekosistem laut.
Hilang bukan karena hilang, katanya, tetapi tidak ada lagi yang mempelajarinya. Padahal bahannya sederhana, tak butuh biaya ketimbang alat tangkap modern. Saat ditanya, jika dibikin dalam jumlah banyak bukankah rotan, bambu dan tali hutan terancam habis.
Dia menjelaskan cara berpikir seperti demikian tidak tepat. Bila membuatnya dalam jumlah banyak sudah pasti mereka lindungi rotan, bambu dan tali hutan. Yang hilang bukan bahannya (artefak), tetapi pengetahuannya tidak dipelajari generasi.
Air mata langit dan angin malam itu seolah bersetubuh dan mendesah kencang akibatnya—hawa dingin menerabas tubuh hingga tulang lelaki usia senja itu. Iapun berkeluh dingin dan ngantuk sekali. Kopi hitam pekat pun tak mampu menangkis ngantuknya dan kami pun memutuskan tali perbincangan.
Kisah dan jenis alat tangkap lainnya datang dari seorang nelayan asal Tidore Kepulauan (Tikep). Sore itu, 13 April jarum jam tepat pukul empat. Pesisir pantai desa Cobodoe, Kecamatan Tidore Timur, Maluku Utara. Sore itu air laut sedang pasang dan saya lihat lima orang bolak-balik memegang semacam entah kayu atau besi seukuran jari tangan dan ditaksirkan satu meter.
Mereka merunduk lalu tangan dimasukkan ke dalam air mengambil sesuatu dan ditaruh di dalam ember. Kadang menusuk-nusuk menggunakan penggalan besi atau kayu tersebut. Saya menduga, mereka sedang mencari kerang dan gurita.
Laut begitu teduh. Sampah plastik menempel di bebatuan dan batang kayu lalu bergoyang mengikuti irama riak ombak kecil di tepi pantai. Hutan pegunungan menghadirkan pemandangan hijau nun indah dan angin sepoi membuat kelopak mata menahan ngantuk.
Om Man nama sapaannya. Nama sebenarnya Abdurrahman penduduk desa Cobodoe, nelayan tangkap ikan. Duduk di tempat duduk panjang memandangi laut. Di samping kanannya ada sebuah ember biru kecil dan dalamnya ada tiga gulungan nilon. Saya menduga kalau pria ini siap-siap mau melaut.
Ternyata dugaan saya meleset. Saya pun sodorkan pertanyaan, om Man mau mangail (melaut)? Tarada (tidak) jawabnya. Saya hanya ikat gumala (kail) di nilon, lanjutnya sambil senyum tipis lalu melempar pandang di ember berisi nilonnya.
Om Man biasa mangail dimana? Tanya saya. Dia menghela nafas panjang lalu menatap lautan juah. Yaa, kalau mau dapat hasil tangkapan lebih, mangail dekat pulau Halmahera sana. Kenapa tidak dekat-dekat, di depan sini misalnya. Tanya saya sambil menunjuk seseorang dengan perahu sampan di depan kami yang jaraknya diperkirakan 300 meter.
Ia melempar pandang pada perahu itu lalu berkisah pengalaman melautnya. Sudah berulang kali saya mangail (melaut) di depan sini, jangankan jual, makan saja tak cukup. Terkadang hanya dapat dua ekor itupun butuh berjam-jam dan menahan terik panas yang serasa membakar tubuh. Sambil perlihat kulit di batang tangannya, lihat kulit saya, biskotu (hitam) kayak aspal sambil melebarkan tawanya.
Barangkali ikan sudah tak ada di sekitar ini, lanjutnya lalu menunduk pesimis. Ngana (kamu) tahu, padahal dulunya mangail (pancing) di malam hari kita cukup duduk di pesisir laut dan hasilnya juga banyak. Bahkan bisa jual di tetangga, katanya.
Apalagi gunakan perahu, sambil menunjuk seorang nelayan sedang melaut di depan kami dan berkata, itu sudah sangat jauh. Seratus meter dari garis pantai dan dua jam saja, hasilnya sangat memuaskan.
Sambil menunjuk air laut dan dia menjelaskan lihat saja, laut sekarang tidak lagi jernih. Air laut makin keruh, berkabut, sampah juga banyak. Yang saya heran adalah dulu batu dan terumbu karang banyak sekali. Tapi sekarang malah banyak pasir, batu dan terumbu karang jauh berkurang.
Dulu kalau mandi pantai hampir tak ada pasir. Berenang lalu berdiri di atas batu-batu besar setinggi tiga sampai empat meter. Anehnya—batu-batu itu tak lagi ada dan bahkan air laut makin hari tamba naik mendekati perumahan penduduk. Untung-untung ada swering. Jika tidak, mungkin—sudah mlelewati batas swering.
Benar adanya, sebab bersama ipar saya, pernah kami memasang jaring dan tak ada batu maupun karang. Hanya pasir putih dan lamun pun hidup kelompok-kelompok kecil. Sekali waktu memasang jaring mulai azan magrib hinga jam sepuluh malam dan hanya dapat empat ekor ikan samandar (uhi) panjang lima senti meter, tipis kurus kerempeng. Sejak saat itu saya tak lagi ikut menjaring ikan.
Sekarang ini bila ingin mendapat hasil tangkapan banyak kita harus melaut di laut jauh. Entah mungkin karena pengaruh batu, terumbu karang dan air lautnya kotor berakibatnya—ikan pindah di tempat lain, katanya.
Om Man menjelaskan, beberapa kali saya melaut di lauatan Halmahera mulai jam sembilan malam hingga jam lima subuh—hasilnya hanya delapan ekor. Tiba-tiba raut wajahnya berubah tiga puluh derajat. Ada rasa sedih di raut wajahnya dan berkata, selama tiga bulan saya tak punya pendapatan sama sekali.
Tiga bulan itu saya berutang untuk membayar biaya sekolah anaknya. Beginilah kehidupan nelayan, pendapatan tergantung cuaca dan hasil tangkap, katanya, sambil menunduk dan mengatup matanya. Kedua telapak jarinya, ia angkat lalu mengusap wajahnya sedikit menindih.
Musim ikan pun berubah-rubah, tak menentu. Mungkin pengaruh alam. Dalam berbagai literatur perubahan ini adalah fakta soal pemanasan global, bukan perubahan alam secara alamiah. Pikiran saya berkata dalam diamku.
Nelayan kecil seperti kami ini, tak berharap banyak menambah pendapatan dari hasil melaut. Sebab, menjauhnya ikan ke laut dalam bikin banyak nelayan tercekik—pendapatan menurun drastis. Mereka yang menggunakan perahu bermesin saja pulang melaut bukannya untung—malah rugi. Harga hasil tangkapan tak dapat menutupi harga minyak.
Om Man menceritakan kisah temannya. Temannya beli perahu ketinting dengan harga tiga puluh juta. Perahu itu digunakan melaut selama satu tahun lebih dan pendapatan belum sampai setengah dari modal yang dikeluarkan. Bahkan terkadang temannya sering ribut dengan istri karena melaut tak dapat hasil.
Sekali waktu istri memarahinya dan bilang, perahu itu sebaiknya dijual saja bila tak menghasilkan uang. Percuma buang-buang uang, tak ada guna dan bikin hidup kita tambah susah, om Man mengutip perkataan istri temannya sambil menggeleng kepala. Saya berupaya membaca pikirannya, semacam ada rasa sesali atas keputusan temannya
Nelayan kecil seperti kami ini sulit untuk berkembang. Tuhan pun tak bisa menolong. Sambil tertawa lepas, hahahahaaaa, basedu (bercanda), katanya.
Bagaimana menurut ngana (kamu), Om Man bertanya. Hmmmm, saya tidak tahu soalnya belum pernah mangail (melaut) di sini. Dari balik pintu kios terdengar suara seseorang memanggilnya, om Man, om Maaann. Sayaaaaa, sahutnya. Kami pun mengakhiri pembicaraan kala senja melukis bentuknya sore itu. Suara tarhim di mesjid pun mulai berkumandang, penanda bahwa terang perlahan ditelan malam.
Saya mencatat kisah kedua nelayan ini sebagai kisah pilu kehidupan nelayan dan alat tangkap tradisional sedang berada di tepi kepunahan. Suatu perubahan yang justeru mengancam pengetahuan lokal, dan dalam kaitannya dengan kerentan ekonomi nelayan. Adalah akibat dampak modernitas dan degradasi ekosistem laut.
Editor: Tim