Catatan Dibalik Gempa, di Gane Barat

Sedih mencekam pada raut wajah penduduk Gane kala itu. Tangis pun pecah membelah hening, disaat penduduk menatap puing-puing rumahnya yang hancur. Gempa (bencana alam) diduga hanya menyisakan proyek meraup untung oleh segelintir orang.

Oleh: Sarfan Tidore

Penduduk desa di Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara mengungsi di pesisir pantai, bukit, jalan-jalan dengan peralatan, pakaian dan makanan seadanya. Suasana tampak ramai, tapi juga sedih dan luka dalam diam pada raut wajah mereka.

Tulisan cakar ayam ini hanyalah catatan perjalanan sewaktu saya melakukan kegiatan survey pada Agustus 2022 di sebuah desa, yakni Desa Lemo-Lemo, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan.

Pada suatu siang panas sang surya tak mengenal belas kasih, di pesisir pantai Desa Lemo-Lemo hari itu menyisakan puing-puing rumah yang hancur-berantakan. Adalah suatu kondisi yang menggambarkan kondisi masyarakat sedang berjuang memperbaiki kehidupan setelah bencana alam.

Tasin (inisial red), seorang penduduk Desa Lemo-Lemo mengenang kisahnya dan mengatakan: hari itu, tepat 14 Juli 2019 Penduduk Gane diguncang gempa bumi berkekuatan hingga 7,2 magnitude. Skala getarannya hampir dirasakan semua penduduk di Maluku Utara.

Rumah dan seisinya bergoyang lalu terpelanting. Penduduk terbangun dari tidurnya dengan panik, mereka berupaya menyelamatkan diri dari ancaman maut. Teriakan, tangisan bergema di jalanan sembari berlari menuju ketinggian.

“Pasca gempa sebagian orang menatap puing-puing rumahnya yang hancur dengan sedih dan luka. Tak ada kelakar, senyum, hanya menyisakan kesedihan begitu mendalam sampai-sampai tangis ibu-ibu pun pecah membelah hening,” kata Tasin.

Di Desa Lemo-Lemo, katanya, 79 rumah kategori rusak berat, 39 rusak sedang dan 3 rumah rusak ringan. Pemerintah Halmahera Selatan, lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupaya mengatasi penderitaan mereka dan membangun bangun Rumah Tahan Gempa (RTG). Proyek ini ditangani oleh seorang aplikator bernama Tomas. 

Tasin menjelaskan rencana pembangunan RTG ini bahkan tidak dilakukan sesuai prosedur, sebab tak ada sosialisasi dan secara tiba-tiba pemerintah desa membentuk Persatuan Organisasi Masyarakat (Pokmas). Tujuan dibentuknya Pokmas adalah untuk mengurusi persyaratan administrasi pembangunan RTG, dan Hatab seorang warga dipercayakan sebagai ketua Pokmas.

Total dana Rumah Tahan Gempa senilai Rp 3.950.000.000 (tiga milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah). Dana satu unit rumah senilai Rp 50.000.000 (juta) dan 79 rumah kategori rusak berat yang rencananya akan dibangun RTG.  

Pada Maret 2021, BPBD memberikan DP (dana pinjaman) kepada aplikator 30 persen dari total dana 50 juta/unit rumah. Dana sebanyak Rp 237.000.000 ditransfer kepada aplikator, katanya, dengan tujuan pengurusan bahan dan peralatan. Tetapi hingga akhir Maret tidak ada informasi sama sekali. Padahal waktu itu mereka dijanjikan bulan April bahan-bahan bangunan RTG sudah didatangkan aplikator.

Tasin menjelaskan, diawal bulan April Pokmas bertemu kepala BPBD dan mendiskusikan masalah tersebut, mengapa RTG belum juga terlaksana. Alasan belum direalisasikannya RTG karena pertama, aplikator terkendala pandemik covid-19. Kedua, pesanan bahan dan peralatan belum tersedia dipasaran akibatnya tertunda. 

“Pada pertemuan itu kami pun meminta agar dana itu ditransfer ke penerima agar dibangun oleh masing-masing orang yang rumahnya kategori rusak berat. Tak bisa selamanya kami tinggal di gubuk pengungsian,” katanya. Pihak BPBD tak mau mencairkan dana kepada penerima dengan alasan jangan sampai disalah-gunakan dan dana tersebut akan ditransfer kepada aplikator untuk membelanjakan bahan-bahan RTG.

Di pertengahan April Pokmas melakukan pertemuan dengan DPR. DPR bahkan menyampaikan ternyata mereka baru mengetahui adanya pembangunan RTG oleh Pemerintah daerah. Pertemuan dengan dewan pun tidak membuahkan hasil pasti yang memuaskan. Mereka (DPR) sebatas berjanji akan membantu berkoordinasi dengan Pemda agar mempercepat prosesnya.

Pada bulan Mei, lagi-lagi Pokmas mendatangi kantor BPBD dan mereka meminta kejelasan mengapa RTG masih belum terealisasi. “Karena tidak mendapat kejelasan pasti yang masuk akal akibatnya mereka membatalkan pembangunan RTG di Desa Lemo-Lemo.”

Tasin menjelaskan bahwa, Rumah Tahan Gempa ini sebenarnya sejak awal sudah ditolak penduduk desa. Sebab rumahnya kecil, atapnya pun rendah dan hanya terdapat dua kamar tidur. Hanya saja kami dibujuk oleh seorang Juknis (Petunjuk Teknis) murah hati dan mengingat karena tinggal di gubuk pengungsian hingga kami pun harus menerima kehendak pemerintah daerah.

Dia menjelaskan, “kami terkena gempa hidup dalam kubangan penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan justru diduga dijadikan proyek meraup untung oleh segelintir orang. Atau dengan kata lain, bencana adalah momentum penting mengeksploitasi penderitaan masyarakat oleh oknum pejabat publik dan swasta. Sebab dana itu akhirnya hilang, entah dikemanakan atau hilang termakan waktu.

Situasi ini sejalan dengan konsep Naomi Klein, yang disebut “Disaster Kapitalism” (kapitalisme bencana). Kondisi bencana membawa tiga agenda besar bagi pemerintah yakni, (1) peningkatan peran konstituen swasta, (2) menjadikan bencana sebagai alat dan celah masuk kepada ketergantungan terhadap negara (pemerintah), dan (3) mempromosikan kepentingan pengusaha swasta, (Dewi, dkk 2020). 

Bencana yang terjadi dan lagi-lagi disaat bersamaan dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha dan elit lokal demi kepentingan mereka tanpa memperhatikan efek dari perbuatannya. Suatu perbuatan menambah panjangnya jurang penderitaan terhadap masyarakat.

Masyarakat yang rentan secara ekonomi, kehancuran dan perjuangan untuk pulih justru dieksploitasi setelah terjadinya bencana. Kerentanan tersebut menjadi semakin nyata ketika swasta campur tangan dalam upaya memperbaiki kondisi hidup masyarakat. Situasi ini tampak begitu nyata dalam kebijakan pembangunan Rumah Tahan Gempa di Desa Lemo-Lemo yang kala itu dipimpin oleh rezim Bahrain Kasuba dan melalui pihak kedua.

Kapitalisme bencana, terjadi ketika kepentingan pribadi turun ke wilayah tertentu setelah peristiwa destabilisasi besar, seperti…dan bencana alam, tulis Klein. Merupakan suatu tanggapan terhadap bencana dalam melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat, tetapi juga, sebagai peluang lain untuk memperoleh keuntungan dibalik bencana alam.

Perbuatan tersebut menghadirkan kepasrahan masyarakat pada situasi dan terjun bebas dalam jurang penderitaan. Hingga titik tertentu masyarakat berupaya beradaptasi agar setidaknya dapat keluar dari kondisi yang mereka alami tanpa ketergantungan pemerintah. Konsep adaptasi menurut Mulyadi, adalah bagian dari proses evolusi manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. 

Sejalan dengan itu, saya pun menerima informasi dari penduduk bahwa mereka tak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah. Kala itu masyarakat lantas memutuskan membangun rumahnya masing-masing dan tak mengharapkan lagi bantuan pemerintah. Ada 27 kepala keluarga dengan jerih payah dan tahap demi tahap mereka membangun rumahnya menggunakan dana pribadi. Meskipun belum selesai 100%, tetapi sudah bisa ditempati dan luas rumah pun tidak sesempit RTG.

Tasin menjelaskan sejak bupati Usman dilantik, pemerintah daerah mulai menaruh perhatian terhadap masyarakat Gane yang kena gempa. Pada Juli 2022 anggaran tahap pertama telah dicairkan dan 27 rumah yang menggunakan dana pribadi diganti oleh pemerintah daerah. 

Sedangkan 52 rumah lainnya sekarang masih dalam proses membangun dan desain rumah yang dibangun pun sesuai kehendak penduduk, bukan Rumah Tahan Gempa. Dana bantuan pun dikirim langsung ke rekening masing-masing penerima bantuan, tidak lagi lewat pihak kedua (swasta) seperti yang dilakukan mantan bupati Bahrain Kasuba.

Editor: Tim