Maju Pilkada, Darwis Berpeluang Paket dengan Hendrata Thes

SANANA, MODERATORSUA.COM – Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 di Kabupaten Kepulauan Sula mulai ramai. Bahkan paket bakal pasangan calon juga mengemuka. 

Salah satu kader terbaik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Darwis Gorontalo mulai dilirik publik. 

Pada Moderatorsua, Darwis mengaku siap berkompetisi di Pilkada kali ini dengan posisi tawar bakal calon Wakil Bupati. 

Manufer politik anggota DPRD Provinsi aktif ini, dapat dibuktikan dengan langkah awal mengambilan formulir pendaftaran calon di Partai Gerindra Sula besok (18/04/24). 

“Besok saya ambil formulir pendaftaran bakal Calon Wakil Bupati di Partai Gerindra,”katanya, Rabu (17/04/24). 

Selain Partai Gerindra, Darwis juga bakal mendaftar ke partai Hanura dan Demokrat. 

“Selain Gerindra, kita sambil menunggu pembukaan pendaftaran Demokrat dan Hanura untuk ambil formulir pendaftarannya,” tuturnya. 

Sebagai putra Mangoli dan Sulabesi, Darwis juga punya kans politik yang dilirik figur bakal calon Bupati. 

Tak hanya itu, Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD PDIP Maluku Utara ini blak-blakan dirinya berpeluang berpasangan dengan Bupati Sula periode 2015-2020, Hendrata Thes. 

“Sudah jalan komunikasi dengan beberapa figur. Tapi yang berpeluang paket itu dengan pak HT (Hendrata Thes), ucap Darwis.

Penulis: Gunawan Tidore
Editor: Gajali Fataruba

Koalisi 9 Bintang di Ternate Kecam Sikap PB PMII

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Sejumlah Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Ternate kembali merefleksikan Hari sumpah pemuda, Minggu, 29 Oktober 2023.

Mereka mengatasnamakan “Koalisi 9 Bintang Melawan” itu tergabung dari Komisariat 45, Komisariat Stikip Kie Raha, Komisariat Bung Karno, Komisariat IAIN, Rayon FKIP, Rayon Ekonomi dan Rayon Pertanian menggelar aksi refleksi sumpah pemuda pada minggu, 29 Oktober 2023.

Ada beberapa hal ini disoroti dalam dari hari refleksi tersebut diantaranya: sikap politik Pengurus PB PMII dan masalah pertambangan di Maluku Utara.

Kordinator Koalisi, Rian Sula dalam orasinya menegaskan menolak dukungan politik PB PMII kepada Cawapres pasangan Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Menurutnya, sikap politik PB PMII tersebut sudah salah salah jalur karena tidak lagi independen.

“PB PMII telah mencederai citra diri PMII berupa sikap independen. PMII adalah organisasi mahasiswa yang independen. Ini dibuktikan dengan Musyawarah Nasional (Munas) di Munarjati Malang pada tahun 1972. Atas dasar ini, PMII tidak lagi terikat secara struktural dengan kekuatan politik manapun termasuk Nahdatul Ulama (NU)”. Ujar Rian sula.

“Berangkat dari sejarah itu, seharusnya ini menjadi pembelajaran serta evaluasi bagi seluruh anggota maupun kader terutama PB PMII, agar tetap mempertahankan sikap politik yang independen,” tegasnya.

Usai mengkritisi sikap PB PMII, Rian juga menyuarakan terkait pertambangan di Provinsi Maluku Utara

Ia berasumsi dampak negatif pertambangan di Maluku Utara cukup masif bagi keberlangsungan hidup masa mendatang.

“Mulai dari sektor lingkungan, perampasan ruang hidup dan pencaplokan tanah adat. Selebihnya juga mempengaruhi pada sektor pendidikan,” beber Rian mengakhiri orasinya.

Penulis: Risal Sadoki
Editor: Gunawan Tidore

Air Sungai Berubah Warna, Gamhas Desak DLH Uji Laboratorium

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (Gamhas), meminta pemerintah Provinsi Maluku Utara bertanggung jawab atas perubahan warna air sungai di Halmahera Tengah.

Gamhas menduga, perubahan warna air menjadi keruh kecoklatan di Desa Sagea dan Kiya, merupakan dampak dari aktivitas pertambangan.

Karena itu, pihaknya mengklaim kehadiran industri pertambangan di Weda justru merugikan masyarakat dan lingkungan hidup.

Pernyataan itu disampaikan mahasiswa, saat menggelar aksi refleksi jelang Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia, di pusat Kota Ternate, Rabu Malam (16/08/2023)

“Sungai Sagea terkoneksi dengan beberapa sungai lainnya dan masuk dalam wilayah konsesi tambang, kita menduga perubahan warna air disebabkan karena ada industri pertambangan. Karena fenomena seperti ini (warna air) baru pertama kali terjadi,” Kata Komite Gamhas Irfandi R Mansur pada wartawan.

Menurut dia, hadirnya industri pertambangan di Halmahera Tengah, justru menjadi petaka bagi lingkungan. Ia mencontohkan beberapa hal yang telah terjadi diantaranya: kerusakan lingkungan, banjir, alih fungsi lahan dan pencemaran air.

“Artinya kehadiran tambang bukan menjadi solusi, malah menambah masalah baru berkepanjangan,” cetusnya.

Untuk membuktikan dugaannya, Komite Gamhas meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kabupaten dan provinsi, segera mengambil sampel air untuk dilakukan uji laboratorium.

“Proses uji lab harus melibatkan akademisi, warga desa setempat, aktivis lingkungan, dan lembaga,” pinta Irfandi

Dia menegaskan, pihak perusahaan harus bertanggung jawab, jika hasil uji laboratorium terbukti ada bahan kimia pada sampel air.

“Kalau terbukti pihak perusahaan harus angkat kaki dari Maluku Utara,” pungkasnya.

Penulis: Gajali Fataruba

Resmi Jadi Tersangka, Ayah Bejat di Ternate Dijerat Pasal Berlapis

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Pelaku kasus persetubuhan dan pencabulan dua anak kandung di Kota Ternate, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polres Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Penetapan status tersangka terhadap AF alias Abidin, dilakukan satu hari setelah Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Ternate, berhasil menangkap pelaku.

“Sudah kami tetapkan tersangka, selang satu hari setelah kami tangkap, karena posisinya langsung ditahan,” Kata Kasat Reskrim IPTU Bondan Manikotomo saat ditemui wartawan, Senin (14/08/2023)

Berita Terkait: Ayah Bejat di Ternate Diduga Setubuhi Anak Kandungnya Lalu Menghilang

Bondan menjelaskan, berkas tahap I ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate, saat ini tengah dirampungkan penyidik dengan pertimbangan psikologis anak.

“Kita lengkapi dulu penyidikan, karena namanya kasus anak inikan butuh pendampingan dari dinas atau orang tua, tidak seperi kasus orang dewasa” tegasnya.

Atas perbuatannya kata Bondan, AF dijerat Pasal pencabulan dan atau persetubuhan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat 1 jo pasal 76 E Jo pasal 82 ayat 2 dan atau pasal 81 ayat 2 jo pasal 81 ayat 3 undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

“Ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun maksimal 15 tahun penjara, tersangka bisa dikenakan pemberatan hukuman berupa ditambah 1/3 dari ancaman pidana, karena tersangka adalah ayah kandung korban,” ungkapnya.

Penulis: Gajali Fataruba

Maluku Utara Rangking Satu Politik Uang di Indonesia, Ini Skornya

MODERATORSUA.COM, JAKARTA – Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu RI), menetapkan Provinsi Maluku Utara sebagai daerah rawan politik uang nomor tertinggi se-Indonesia.

Penetapan tersebut tertuang dalam hasil analisis isu strategis, politik uang dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dan pemilihan serentak 2024.

Bawaslu mencatat paling sedikit, terdapat 5 provinsi masuk kategori daerah yang karep terjadi praktik politik uang, pada momentum pemilu dan pilkada.

“Dari 34 provinsi yang dijadikan unit analisis, setidaknya ada lima provinsi yang masuk kategori kerawanan tinggi terjadinya praktik politik uang,” tulis Bawaslu RI dalam release resminya. Minggu (13/08/2023)

Baca juga: Sekwan Akui Rumah Dinas DPRD Sula Tidak Layak Huni

Meskipun hanya ditetapkan 5 provinsi dengan tingkat politik uang paling tinggi. Namun, provinsi lainnya tak satupun yang masuk kategori rendah.

Berikut lima provinsi rawan politik uang:

  1. Maluku Utara (skor 100)
  2. Lampung (skor 55,56)
  3. Jawa Barat (skor 50)
  4. Banten skor (44,44)
  5. Sulawesi Utara skor (38,89)

Atas hal tersebut, Bawaslu menyarankan pihak berwenang dan jajarannya di daerah, lebih maksimal dalam pencegahan maupun penindakan.

“Inovasi dan kreasi dalam agenda pencegahan politik uang menjadi kunci untuk menguatkan agenda pencegahan dan penindakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam perlawanan praktik politik uang,” pinta Bawaslu.

Penulis: Gajali Fataruba

Kisah Pilu Alat Tangkap dan Kehidupan Nelayan

Oleh: Sarfan Tidore

Senin, 05 Juli 2022, tepat pukul sembilan malam kondisi alam tampak tak bersahabat—hembusan angin kadang melambat disertai gerimis, sejenak berhenti, kadang kencang sekali.

Gas motor saya kencangkan dan knalpot teriak ramai menuju Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Berhenti di depan sebuah rumah kontrakan dan motor saya parkir di pinggiran jalan setapak. Pintu rumah terbuka lebar, ada tiga orang duduk bersila berhadap meja menatap lembaran buku, kala saya melempar pandang.

Saya melangkah masuk. Pandang saya tertuju pada sosok pria berusia senja duduk bersila, dan bersandar di dinding samping pintu kamar depan. Lelaki itu menarik tembakaunya dalam-dalam lalu melepaskan kepulan asapnya, sembari nikmati secangkir kopi hitam pekat. Kelopak mata dan senyumnya melebar. Selebar pintu di belakang saya. Saya pun lempar senyum lalu berjabat tangan sambil membungkuk kepala. Sudah menjadi tradisi orang Maluku Utara. Membungkuk adalah suatu laku perbuatan memiliki nilai yang melekat dan dianut bersama yang disebut, etika berjabat tangan. Tanpa basa-basi iapun dengan nada datar menawari saya kopi. Baru habis ngopi di warung kopi, ucap saya dengan perasaan begitu senang malam itu.

Lelaki usia senja ini bernama Muhammad Jen Tidore. Biasanya disapa om Pita. Berasal dari kepulauan Sula. Demi melepas rindu, om Pita pergi ke Ternate untuk bertemu anak bungsunya yang melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Ternate.

Beberapa hari lalu saya menerima informasi dari teman saya bahwa beliau akan berangkat ke Ternate. Ada rasa gembira di lubuk hati, sebab sudah sangat lama saya ingin bertemunya untuk menggali informasi soal alat tangkap fofa (bubu). Ini adalah kesempatan terbaik, pikiran saya berkata.

Om Pita adalah generasi terakhir yang tahu dan pahami betul proses pembuatan alat tangkap ikan itu. Kesempatan itu akhirnya datang juga, dan menurut saya informasi ini sangat penting dan berharga, sebab—ada produk gagasan berada di ujung kepunahannya. Pria kelahiran 1952 ini tak kalah dalam pekerjaan—geluti dua pekerjaan sekaligus diantaranya nelayan dan petani. Dia menuturkan aktivitas melaut sejak usia 10 tahun. Gunakan perahu sampan, kail (kaihi) dan reket (nilon pancing ikan). Kaihi (kail) diikat di reket dan besi sebagai pemberat (lot)

Di ujung nilon yang jarak dari kaihi berkisar satu meter. Alat tangkap sederhana ini digunakan untuk bamai (mancing) ikan dasar.

Selain bamai (pancing), dia pun gunakan alat tangkap dan orang Sula menyebutnya fofa (igi) sebagai perangkap ikan. Fofa digunakan untuk menangkap ikan sejak dari tetenya lalu diturunkan kepada ayahnya. Saya tidak tahu pasti, katanya, bagaimana dan dari mana orang tahu cara pembuatan fofa. Tak sempat tanya pada mendiang ayahnya dari mana dan kapan orang tahu membuatnya dengan raut wajah agak sesali.

“Pengetahuan tentang fofa bisa jadi orang belajar dari alam. Fofa itu alat jebakan. Misalnya saja, di laut banyak batu dan karang yang memiliki lubang. Ikan bebas masuk-keluar, bermain, bertelur, cari makan dan tidur”.

Pengalaman lewat mata, orang berpikir bagaimana caranya dapat ikan dengan jumlah banyak. Dengan begitu, bisa saja melalui penglihatan orang kemudian berpikir untuk bikin alat tangkap serupa batu yang ikan dapat masuk, tetapi tidak dapat keluar. Pengalaman itu, dan lewat akal orang dapat ciptakan fofa, katanya menduga.

Dia menjelaskan, setahunya sejak masih kecil hingga dewasa ayahnya adalah pembuat alat tangkap fofa. Sejak kecil saya sering membantu ayah ambil bahannya di hutan dan bantu membuatnya. Hingga akhirnya, saya pun tahu membuatnya tanpa diajari secara langsung, kenangnya.

Melalui mata dan kerja, kita bisa tahu—tak perlu diajari langsung, katanya. Kalau hanya dijelaskan masih sulit kita tahu. Tetapi mengerjakan adalah cara belajar paling cepat. Dari sekian banyak anaknya, hanya satu yang mahir membuat fofa. Tetapi anaknya juga merantau, jarang pulang dan saya pun tak tahu pasti apakah dia masih tahu bikin atau tidak.

Rokok tembakau ditarik dalam-dalam lalu meniup asapnya sembari dengan nada pesimis mengatakan, sayang sekali fofa sudah jarang digunakan orang untuk menangkap ikan. Mungkin suatu ketika alat tangkap ini akan hilang, prediksinya. Padahal fofa (bubu) adalah satu dari sekian alat tangkap ikan tradisional yang tidak merusak ekosistem laut.

Hilang bukan karena hilang, katanya, tetapi tidak ada lagi yang mempelajarinya. Padahal bahannya sederhana, tak butuh biaya ketimbang alat tangkap modern. Saat ditanya, jika dibikin dalam jumlah banyak bukankah rotan, bambu dan tali hutan terancam habis.

Dia menjelaskan cara berpikir seperti demikian tidak tepat. Bila membuatnya dalam jumlah banyak sudah pasti mereka lindungi rotan, bambu dan tali hutan. Yang hilang bukan bahannya (artefak), tetapi pengetahuannya tidak dipelajari generasi.

Air mata langit dan angin malam itu seolah bersetubuh dan mendesah kencang akibatnya—hawa dingin menerabas tubuh hingga tulang lelaki usia senja itu. Iapun berkeluh dingin dan ngantuk sekali. Kopi hitam pekat pun tak mampu menangkis ngantuknya dan kami pun memutuskan tali perbincangan.

Kisah dan jenis alat tangkap lainnya datang dari seorang nelayan asal Tidore Kepulauan (Tikep). Sore itu, 13 April jarum jam tepat pukul empat. Pesisir pantai desa Cobodoe, Kecamatan Tidore Timur, Maluku Utara. Sore itu air laut sedang pasang dan saya lihat lima orang bolak-balik memegang semacam entah kayu atau besi seukuran jari tangan dan ditaksirkan satu meter.

Mereka merunduk lalu tangan dimasukkan ke dalam air mengambil sesuatu dan ditaruh di dalam ember. Kadang menusuk-nusuk menggunakan penggalan besi atau kayu tersebut. Saya menduga, mereka sedang mencari kerang dan gurita.

Laut begitu teduh. Sampah plastik menempel di bebatuan dan batang kayu lalu bergoyang mengikuti irama riak ombak kecil di tepi pantai. Hutan pegunungan menghadirkan pemandangan hijau nun indah dan angin sepoi membuat kelopak mata menahan ngantuk.

Om Man nama sapaannya. Nama sebenarnya Abdurrahman penduduk desa Cobodoe, nelayan tangkap ikan. Duduk di tempat duduk panjang memandangi laut. Di samping kanannya ada sebuah ember biru kecil dan dalamnya ada tiga gulungan nilon. Saya menduga kalau pria ini siap-siap mau melaut.

Ternyata dugaan saya meleset. Saya pun sodorkan pertanyaan, om Man mau mangail (melaut)? Tarada (tidak) jawabnya. Saya hanya ikat gumala (kail) di nilon, lanjutnya sambil senyum tipis lalu melempar pandang di ember berisi nilonnya.

Om Man biasa mangail dimana? Tanya saya. Dia menghela nafas panjang lalu menatap lautan juah. Yaa, kalau mau dapat hasil tangkapan lebih, mangail dekat pulau Halmahera sana. Kenapa tidak dekat-dekat, di depan sini misalnya. Tanya saya sambil menunjuk seseorang dengan perahu sampan di depan kami yang jaraknya diperkirakan 300 meter.

Ia melempar pandang pada perahu itu lalu berkisah pengalaman melautnya. Sudah berulang kali saya mangail (melaut) di depan sini, jangankan jual, makan saja tak cukup. Terkadang hanya dapat dua ekor itupun butuh berjam-jam dan menahan terik panas yang serasa membakar tubuh. Sambil perlihat kulit di batang tangannya, lihat kulit saya, biskotu (hitam) kayak aspal sambil melebarkan tawanya.

Barangkali ikan sudah tak ada di sekitar ini, lanjutnya lalu menunduk pesimis. Ngana (kamu) tahu, padahal dulunya mangail (pancing) di malam hari kita cukup duduk di pesisir laut dan hasilnya juga banyak. Bahkan bisa jual di tetangga, katanya.

Apalagi gunakan perahu, sambil menunjuk seorang nelayan sedang melaut di depan kami dan berkata, itu sudah sangat jauh. Seratus meter dari garis pantai dan dua jam saja, hasilnya sangat memuaskan.

Sambil menunjuk air laut dan dia menjelaskan lihat saja, laut sekarang tidak lagi jernih. Air laut makin keruh, berkabut, sampah juga banyak. Yang saya heran adalah dulu batu dan terumbu karang banyak sekali. Tapi sekarang malah banyak pasir, batu dan terumbu karang jauh berkurang.

Dulu kalau mandi pantai hampir tak ada pasir. Berenang lalu berdiri di atas batu-batu besar setinggi tiga sampai empat meter. Anehnya—batu-batu itu tak lagi ada dan bahkan air laut makin hari tamba naik mendekati perumahan penduduk. Untung-untung ada swering. Jika tidak, mungkin—sudah mlelewati batas swering.

Benar adanya, sebab bersama ipar saya, pernah kami memasang jaring dan tak ada batu maupun karang. Hanya pasir putih dan lamun pun hidup kelompok-kelompok kecil. Sekali waktu memasang jaring mulai azan magrib hinga jam sepuluh malam dan hanya dapat empat ekor ikan samandar (uhi) panjang lima senti meter, tipis kurus kerempeng. Sejak saat itu saya tak lagi ikut menjaring ikan.

Sekarang ini bila ingin mendapat hasil tangkapan banyak kita harus melaut di laut jauh. Entah mungkin karena pengaruh batu, terumbu karang dan air lautnya kotor berakibatnya—ikan pindah di tempat lain, katanya.

Om Man menjelaskan, beberapa kali saya melaut di lauatan Halmahera mulai jam sembilan malam hingga jam lima subuh—hasilnya hanya delapan ekor. Tiba-tiba raut wajahnya berubah tiga puluh derajat. Ada rasa sedih di raut wajahnya dan berkata, selama tiga bulan saya tak punya pendapatan sama sekali.

Tiga bulan itu saya berutang untuk membayar biaya sekolah anaknya. Beginilah kehidupan nelayan, pendapatan tergantung cuaca dan hasil tangkap, katanya, sambil menunduk dan mengatup matanya. Kedua telapak jarinya, ia angkat lalu mengusap wajahnya sedikit menindih.

Musim ikan pun berubah-rubah, tak menentu. Mungkin pengaruh alam. Dalam berbagai literatur perubahan ini adalah fakta soal pemanasan global, bukan perubahan alam secara alamiah. Pikiran saya berkata dalam diamku.

Nelayan kecil seperti kami ini, tak berharap banyak menambah pendapatan dari hasil melaut. Sebab, menjauhnya ikan ke laut dalam bikin banyak nelayan tercekik—pendapatan menurun drastis. Mereka yang menggunakan perahu bermesin saja pulang melaut bukannya untung—malah rugi. Harga hasil tangkapan tak dapat menutupi harga minyak.

Om Man menceritakan kisah temannya. Temannya beli perahu ketinting dengan harga tiga puluh juta. Perahu itu digunakan melaut selama satu tahun lebih dan pendapatan belum sampai setengah dari modal yang dikeluarkan. Bahkan terkadang temannya sering ribut dengan istri karena melaut tak dapat hasil.

Sekali waktu istri memarahinya dan bilang, perahu itu sebaiknya dijual saja bila tak menghasilkan uang. Percuma buang-buang uang, tak ada guna dan bikin hidup kita tambah susah, om Man mengutip perkataan istri temannya sambil menggeleng kepala. Saya berupaya membaca pikirannya, semacam ada rasa sesali atas keputusan temannya

Nelayan kecil seperti kami ini sulit untuk berkembang. Tuhan pun tak bisa menolong. Sambil tertawa lepas, hahahahaaaa, basedu (bercanda), katanya.

Bagaimana menurut ngana (kamu), Om Man bertanya. Hmmmm, saya tidak tahu soalnya belum pernah mangail (melaut) di sini. Dari balik pintu kios terdengar suara seseorang memanggilnya, om Man, om Maaann. Sayaaaaa, sahutnya. Kami pun mengakhiri pembicaraan kala senja melukis bentuknya sore itu. Suara tarhim di mesjid pun mulai berkumandang, penanda bahwa terang perlahan ditelan malam.

Saya mencatat kisah kedua nelayan ini sebagai kisah pilu kehidupan nelayan dan alat tangkap tradisional sedang berada di tepi kepunahan. Suatu perubahan yang justeru mengancam pengetahuan lokal, dan dalam kaitannya dengan kerentan ekonomi nelayan. Adalah akibat dampak modernitas dan degradasi ekosistem laut.

Editor: Tim

Laporan Dugaan Pemerkosaan, Terkesan Diabaikan Polsek Oba Selatan

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Laporan tak kunjung diproses, kuasa hukum korban pemerkosaan di Desa Selamalofo, mengecam sikap penyidik Polsek Kecamatan Oba Selatan.

Diketahui pada Rabu 02/08/2023 diduga telah dilakukan tindak pidana pemerkosaan oleh MY, terhadap korban penyandang disabilitas di Desa Selamalofo, Kecamatan Oba Selatan, Tidore Kepulauan.

Kejadian itu, lantas diadukan ke Polsek sejak Jum’at 04/08/2023, namun hingga kini tak kunjung dikembangkan. Pihak Polsek Oba berdalih kekurangan sumberdaya.

“Pada (09/08) kami penasihat hukum datang ke Polsek guna memasukkan surat kuasa sekaligus berkoordinasi terkait kasus yang sudah dilaporkan, tapi tidak ada hasil apa-apa,” kata Fahrizal Dirhan pada moderatorsua.com, Kamis (10/08/2023).

Tak sampai disitu, pihak LBH Marimoi kemudian melakukan komunikasi persuasif dengan Kanit Reskrim Polsek Oba, namun tidak dikonfirmasi.

“Hal ini kemudian membuat kami berkoordinasi secara pribadi dengan Kanit Reskrim Polsek Oba via whatsapp, namun belum ada respon hingga press release ini dibuat,” beber Penasihat Hukum korban.

Baca juga: Pemkot Ternate Didesak, Naikkan Gaji Pegawai Tidak Tetap

Padahal laporan tersebut telah memasuki hari ke lima sejak dilaporkan. Selain interval waktu, juga dua orang saksi serta terduga pelaku yang telah mengakui perbuatannya dan saat ini berlindung di Polsek Oba.

“Seharusnya fakta tersebut sudah bisa dilakukan penyelidikan oleh penyidik Polsek, karena telah sesuai UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan UU nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), terkait bukti permulaan sudah cukup,” jelas LBH Marimoi.

Atas kejadian itu, Keluarga korban serta LBH Marimoi akan melaporkan ke Polda Maluku Utara guna mendapatkan kepastian hukum.

“Kami beri waktu sampai hari Senin (14/08), jika tidak ada perkembangan, maka kami (PH) dan keluarga korban akan memasukkan laporan ke Polda Maluku Utara,” tegasnya

Sampai berita ini diturunkan, pihak Polsek Oba Selatan belum bisa dikonfirmasi.

Sumber: LBH Marimoi

Catatan Dibalik Gempa, di Gane Barat

Sedih mencekam pada raut wajah penduduk Gane kala itu. Tangis pun pecah membelah hening, disaat penduduk menatap puing-puing rumahnya yang hancur. Gempa (bencana alam) diduga hanya menyisakan proyek meraup untung oleh segelintir orang.

Oleh: Sarfan Tidore

Penduduk desa di Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara mengungsi di pesisir pantai, bukit, jalan-jalan dengan peralatan, pakaian dan makanan seadanya. Suasana tampak ramai, tapi juga sedih dan luka dalam diam pada raut wajah mereka.

Tulisan cakar ayam ini hanyalah catatan perjalanan sewaktu saya melakukan kegiatan survey pada Agustus 2022 di sebuah desa, yakni Desa Lemo-Lemo, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan.

Pada suatu siang panas sang surya tak mengenal belas kasih, di pesisir pantai Desa Lemo-Lemo hari itu menyisakan puing-puing rumah yang hancur-berantakan. Adalah suatu kondisi yang menggambarkan kondisi masyarakat sedang berjuang memperbaiki kehidupan setelah bencana alam.

Tasin (inisial red), seorang penduduk Desa Lemo-Lemo mengenang kisahnya dan mengatakan: hari itu, tepat 14 Juli 2019 Penduduk Gane diguncang gempa bumi berkekuatan hingga 7,2 magnitude. Skala getarannya hampir dirasakan semua penduduk di Maluku Utara.

Rumah dan seisinya bergoyang lalu terpelanting. Penduduk terbangun dari tidurnya dengan panik, mereka berupaya menyelamatkan diri dari ancaman maut. Teriakan, tangisan bergema di jalanan sembari berlari menuju ketinggian.

“Pasca gempa sebagian orang menatap puing-puing rumahnya yang hancur dengan sedih dan luka. Tak ada kelakar, senyum, hanya menyisakan kesedihan begitu mendalam sampai-sampai tangis ibu-ibu pun pecah membelah hening,” kata Tasin.

Di Desa Lemo-Lemo, katanya, 79 rumah kategori rusak berat, 39 rusak sedang dan 3 rumah rusak ringan. Pemerintah Halmahera Selatan, lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupaya mengatasi penderitaan mereka dan membangun bangun Rumah Tahan Gempa (RTG). Proyek ini ditangani oleh seorang aplikator bernama Tomas. 

Tasin menjelaskan rencana pembangunan RTG ini bahkan tidak dilakukan sesuai prosedur, sebab tak ada sosialisasi dan secara tiba-tiba pemerintah desa membentuk Persatuan Organisasi Masyarakat (Pokmas). Tujuan dibentuknya Pokmas adalah untuk mengurusi persyaratan administrasi pembangunan RTG, dan Hatab seorang warga dipercayakan sebagai ketua Pokmas.

Total dana Rumah Tahan Gempa senilai Rp 3.950.000.000 (tiga milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah). Dana satu unit rumah senilai Rp 50.000.000 (juta) dan 79 rumah kategori rusak berat yang rencananya akan dibangun RTG.  

Pada Maret 2021, BPBD memberikan DP (dana pinjaman) kepada aplikator 30 persen dari total dana 50 juta/unit rumah. Dana sebanyak Rp 237.000.000 ditransfer kepada aplikator, katanya, dengan tujuan pengurusan bahan dan peralatan. Tetapi hingga akhir Maret tidak ada informasi sama sekali. Padahal waktu itu mereka dijanjikan bulan April bahan-bahan bangunan RTG sudah didatangkan aplikator.

Tasin menjelaskan, diawal bulan April Pokmas bertemu kepala BPBD dan mendiskusikan masalah tersebut, mengapa RTG belum juga terlaksana. Alasan belum direalisasikannya RTG karena pertama, aplikator terkendala pandemik covid-19. Kedua, pesanan bahan dan peralatan belum tersedia dipasaran akibatnya tertunda. 

“Pada pertemuan itu kami pun meminta agar dana itu ditransfer ke penerima agar dibangun oleh masing-masing orang yang rumahnya kategori rusak berat. Tak bisa selamanya kami tinggal di gubuk pengungsian,” katanya. Pihak BPBD tak mau mencairkan dana kepada penerima dengan alasan jangan sampai disalah-gunakan dan dana tersebut akan ditransfer kepada aplikator untuk membelanjakan bahan-bahan RTG.

Di pertengahan April Pokmas melakukan pertemuan dengan DPR. DPR bahkan menyampaikan ternyata mereka baru mengetahui adanya pembangunan RTG oleh Pemerintah daerah. Pertemuan dengan dewan pun tidak membuahkan hasil pasti yang memuaskan. Mereka (DPR) sebatas berjanji akan membantu berkoordinasi dengan Pemda agar mempercepat prosesnya.

Pada bulan Mei, lagi-lagi Pokmas mendatangi kantor BPBD dan mereka meminta kejelasan mengapa RTG masih belum terealisasi. “Karena tidak mendapat kejelasan pasti yang masuk akal akibatnya mereka membatalkan pembangunan RTG di Desa Lemo-Lemo.”

Tasin menjelaskan bahwa, Rumah Tahan Gempa ini sebenarnya sejak awal sudah ditolak penduduk desa. Sebab rumahnya kecil, atapnya pun rendah dan hanya terdapat dua kamar tidur. Hanya saja kami dibujuk oleh seorang Juknis (Petunjuk Teknis) murah hati dan mengingat karena tinggal di gubuk pengungsian hingga kami pun harus menerima kehendak pemerintah daerah.

Dia menjelaskan, “kami terkena gempa hidup dalam kubangan penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan justru diduga dijadikan proyek meraup untung oleh segelintir orang. Atau dengan kata lain, bencana adalah momentum penting mengeksploitasi penderitaan masyarakat oleh oknum pejabat publik dan swasta. Sebab dana itu akhirnya hilang, entah dikemanakan atau hilang termakan waktu.

Situasi ini sejalan dengan konsep Naomi Klein, yang disebut “Disaster Kapitalism” (kapitalisme bencana). Kondisi bencana membawa tiga agenda besar bagi pemerintah yakni, (1) peningkatan peran konstituen swasta, (2) menjadikan bencana sebagai alat dan celah masuk kepada ketergantungan terhadap negara (pemerintah), dan (3) mempromosikan kepentingan pengusaha swasta, (Dewi, dkk 2020). 

Bencana yang terjadi dan lagi-lagi disaat bersamaan dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha dan elit lokal demi kepentingan mereka tanpa memperhatikan efek dari perbuatannya. Suatu perbuatan menambah panjangnya jurang penderitaan terhadap masyarakat.

Masyarakat yang rentan secara ekonomi, kehancuran dan perjuangan untuk pulih justru dieksploitasi setelah terjadinya bencana. Kerentanan tersebut menjadi semakin nyata ketika swasta campur tangan dalam upaya memperbaiki kondisi hidup masyarakat. Situasi ini tampak begitu nyata dalam kebijakan pembangunan Rumah Tahan Gempa di Desa Lemo-Lemo yang kala itu dipimpin oleh rezim Bahrain Kasuba dan melalui pihak kedua.

Kapitalisme bencana, terjadi ketika kepentingan pribadi turun ke wilayah tertentu setelah peristiwa destabilisasi besar, seperti…dan bencana alam, tulis Klein. Merupakan suatu tanggapan terhadap bencana dalam melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat, tetapi juga, sebagai peluang lain untuk memperoleh keuntungan dibalik bencana alam.

Perbuatan tersebut menghadirkan kepasrahan masyarakat pada situasi dan terjun bebas dalam jurang penderitaan. Hingga titik tertentu masyarakat berupaya beradaptasi agar setidaknya dapat keluar dari kondisi yang mereka alami tanpa ketergantungan pemerintah. Konsep adaptasi menurut Mulyadi, adalah bagian dari proses evolusi manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. 

Sejalan dengan itu, saya pun menerima informasi dari penduduk bahwa mereka tak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah. Kala itu masyarakat lantas memutuskan membangun rumahnya masing-masing dan tak mengharapkan lagi bantuan pemerintah. Ada 27 kepala keluarga dengan jerih payah dan tahap demi tahap mereka membangun rumahnya menggunakan dana pribadi. Meskipun belum selesai 100%, tetapi sudah bisa ditempati dan luas rumah pun tidak sesempit RTG.

Tasin menjelaskan sejak bupati Usman dilantik, pemerintah daerah mulai menaruh perhatian terhadap masyarakat Gane yang kena gempa. Pada Juli 2022 anggaran tahap pertama telah dicairkan dan 27 rumah yang menggunakan dana pribadi diganti oleh pemerintah daerah. 

Sedangkan 52 rumah lainnya sekarang masih dalam proses membangun dan desain rumah yang dibangun pun sesuai kehendak penduduk, bukan Rumah Tahan Gempa. Dana bantuan pun dikirim langsung ke rekening masing-masing penerima bantuan, tidak lagi lewat pihak kedua (swasta) seperti yang dilakukan mantan bupati Bahrain Kasuba.

Editor: Tim

Bupati Sula Ajak Warga Tidak Takut TNI dan Polri, Ini Tanggapan Kapolres

MODERATORSUA.COM, SANANA – Merasa tak bersalah saat ditegur Panwascam Sulabesi Selatan di Desa Waigai, Bupati Sula diduga ajak warga untuk berani “melawan” panwascam juga dua institusi negara.

Pernyataan itu keluar dari lisan Bupati Kabupaten Kepulauan Sula, Fifian Adeningsi Mus usai ditegur Panwascam saat berpidato pada Sabtu, (29/07/2023)

“Jangan takut-takut mau Panwas, mau Polisi mau Tentara jangan takut-takut kalo benar ya, tidak usah,” ajak Bupati dalam video yang beredar di menit ke 02.35.

Selanjutnya dalam video tersebut terdengar Bupati Fifian mengklaim tiga lembaga itu tak memberi nafkah masyarakat Kepulauan Sula.

“Karena bukan mereka yang kasih makan kita (masyarakat), tapi Bupati dengan semua yang ada pada sore hari ini,” sambung Bupati di menit 2.35 sampai 2.50.

Baca juga: Sah! Bupati Fifian Dilaporkan Ke Bawaslu, Ini Dugaa Pasal Yang Dilanggar

Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Sula menyampaikan akan mempelajari isi rekaman video.

“Dikirim aja rekamannya, nanti kita cek apakah ada unsur-unsur ini, nanti kita coba dalami untuk teman-teman penyidik pelajari,” singkat Kapolres Sula AKBP Cahyo Widyatmoko saat dikonfirmasi moderatorsua.com. Senin (31/07/2023).

Sampai berita ini diturunkan, pihak TNI belum dapat dikonfirmasi.

Penulis: Gajali Fataruba

Sah! Bupati Fifian Dilaporkan Ke Bawaslu, Ini Dugaan Pasal Yang Dilanggar

MODERATORSUA.COM, SANANA – Ketua Garda NasDem resmi melaporkan Bupati Fifian Adeningsi Mus ke Bawaslu Kabupaten Kepulauan Sula.

Diketahui pada Sabtu 29/07/2023, Bupati Sula melakukan kunjungan kerja di Desa Waigai Kecamatan Sulabesi Selatan. Namun, kunjungan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik 2024.

Fifian Adeningsi Mus secara terang-terangan mengkampanyekan salah satu bacaleg DPRD yang merupakan Ketua Partai PBB Sula.

Atas ulahnya, Garda NasDem menilai Bupati Sula telah melanggar Pasal 492 Undang-undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu)

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu
di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).” bunyi pasal 492 UU Pemilu.

Usai melapor Fifian, Ketua Garda NasDem Abd Fataha mendesak Bawaslu untuk segera menindaklanjuti laporannya.

“Sebagai partai peserta Pemilu, kami merasa dirugikan atas kampanye diluar jadwal yang dilakukan Bupati Sula, Bawaslu harus serius menangani kasus ini,” pinta Ketua Garda NasDem saat menghubungi moderatorsua.com. Senin, (31/07/2023)

Menurutnya Bawaslu Sula harus lebih tegas karena kasus tersebut merupakan temuan langsung anggota pengawasan pemilu tingkat kecamatan.

“Sudah jelas ini pelanggaran dan publik juga tahu bahwa itu temuan panwascam di lapangan,” tegasnya.

Alasan dia mendesak Bawaslu, lantaran pengalaman aduannya di pemilu tahun lalu pernah diabaikan Bawaslu Sula.

“Sebenarnya kami tidak percaya dengan Bawaslu Sula, karena di tahun 2020 laporan kami pernah di SP3. Padahal di tingkat DKPP laporan kami diterima dan diputuskan memenuhi unsur pelanggaran,” terangnya mengisahkan.

Berita terkait: Ditegur Panwascam Saat ‘Curi Start’, Fifian: Saya Punya Kekuasaan Full

Sementara itu, Bawaslu belum memastikan jadwal pasti untuk tindaklanjuti laporan tersebut.

“Laporan sudah diterima, selanjutnya kita akan kaji materi formilnya, dan saya juga mau konfirmasi dengan ke-dua pimpinan (komisioner) yang ada diluar daerah” singkat Ketua Bawaslu Sula Iwan Duwila saat dikonfirmasi.

Penulis: Gajali Fataruba