Integritas: Kebebasan Nalar

(Surat Kedua Untuk Gunawan Tidore)
Oleh: Sarfan Tidore

KEPADA saudaraku, Gunawan Tidore yang budiman, melalui catatan cakar ayam ini ada sebuah kerinduan paling rindu yang sulit didefenisikan dengan kata. Kerinduan tentang percakapan akal sehat, percakapan tentang duka-derita orang-orang kecil yang terbentang, tentang kemandekan kekuasaan dan tentang bagaimana porsi profesionalisme di tempatkan—porsi akal sehat ditempatkan dan tidak diintervensi meski ada sikap keberpihakan.

Sebagai orang yang memiliki akal sehat dan bagaimana berhadapan dengan pejabat publik yang cenderung abai pada integritas. Di sini seseorang akan diperhadapkan pada situasi: apakah tetap konsisten dengan integritasnya, menarik diri jika ada hal yang bakal menyibak integritasnya, atau mengabaikan dan bersetubuh dengan penguasa lalu tidak ada rasa peduli dengan problem sosial masyarakat.

Puji-memuji itu baik, tetapi, lama kelamaan akan menjadi patologi bagi kemajuan. Karena di sana, nalar kritis perlahan-lahan bisa iya, bisa tidak tenggelam dalam rahim kekuasaan yang pongah. Ini bukan fenomena baru, karena sudah cukup banyak dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita, nalar kritis mereka seringkali dibatalkan oleh logika kekuasaan dan berakhirnya dengan penyesalan.

Betrand Russell menulis, kehidupan yang baik adalah diilhami oleh cinta dan bimbingan pengetahuan. Mereka yang hidup dengan integritas tidak akan merusak kepercayaan orang-orang yang mempercayai mereka (Dr. Kenneth Boa). Apa jadinya jika seorang pejabat ketika melakukan sesuatu tidak diilhami oleh cinta dan pengetahuan dalam menunjukkan integritas publiknya—kemunafikan atau hipokrit.

Oleh karena itu, mengapa pentingnya saya mengutip percakapan saudara saya, Gunawan Tidore dengan Bupati. Sekali lagi, ini soal integritas, bukan mendapat “apa.” Albert Camus menulis, kejujuran dan kebohongan adalah sesuatu yang abadi. Dalam artian bahwa, kebiasaan seseorang untuk berbohong, maka dimana pun tempat dan dalam peristiwa apapun ia akan selalu berbohong. Pun sebaliknya, yang oleh Pierre Bourdieu disebut habitus.

Hal tersebut, yang sebenarnya saya berupaya menjelaskan pada artikel saya bertajuk: “Integritas” di laman halmaherapost.com. Bahwasahanya, proses demokrasi, politik dan pembangunan akan berjalan baik, jika, dan hanya jika elit politik memiliki integritas. Dan sebagai orang yang pernah bergelut di dunia akal sehat, mestinya menjadi agen perubahan: prinsip gagasan, nilai, norma, kejujuran dalam hubungannya dengan menajemen organisasi.

Saya sangat yakin, jika Gunawan Tidore memiliki pemikiran: basis argument mengenai kondisi faktual untuk mendedah muatan integritas pejabat publik dalam kaitannya dengan politik dan sebagai instrument demi pemajuan daerah. Akan tetapi, yang sangat disayangkan, adalah ia malah berupaya mereduksi penjelasan saya dan bukannya masalah integritas dalam kaitan dengan fakta pembangunan, melainkan masalah privasi saya yang disorotinya: masalah sumber keuangan dan fasilitas yang saya nikmati, katanya, di peroleh pada salah satu SKPD Pemkot Ternate. Sebagai akibatnya, dalam artikelnya bertajuk: “Integritas Terpenjara” di laman halmaherapost.com, ia melayangkan tuduhan berlabel integritas saya terjebak, “membohongi”, tidak lagi jujur dan benar-benar tidak bebas atau terpenjara.

Namun, lagi-lagi Gunawan Tidore salah kaprah dan salah Alamat—mestinya diverifikasi informasi itu dengan baik. Adalah hal yang wajar, bisa dipahami dan saya dapat menerimanya dengan akal sehat, sebab, meskipun diverifikasi, tetapi mustahil ditemukan bukti sebagai suatu kebenaran. Bahwa saya menggadaikan integritas dan tidak bebas atau integritas saya terpenjara di bawah bayang-bayang kekuasaan. Di sinilah kekeliruan Gunawan Tidore yang budiman, karena terlalu dini menyimpulkan suatu kebenaran yang problematis.

Dan meskipun begitu (menuduh saya), tetapi tidak akan ada yang hilang dari kita. Oleh karena ini merupakan ruang dialektika, saya akan memberikan penjelasan singkat terkait tuduhan tersebut. Dalam kedudukan dan dengan sarana yang saya miliki, saya harus melakukan apapun yang dibutuhkan agar kita bisa hidup bersama-sama lagi. Dipertemukan dalam keadaan sehat, berbagi informasi, pemikiran dan berbagi suka maupun duka tanpa pamrih—hanya takdirlah yang dapat memisahkan kita.

Soal berdirinya Commune Coffee, saya tidak mengelak, karena memang dananya dari pemerintah. Sumber keuangan yang saya peroleh, adalah melalui lembaga yang saya dirikan sejak tahun 2019, dan pada lembaga itulah saya mengajukan proposal bantuan dana bansos pada pemerintah Provinsi (bukan SKPD Pemkot Ternate—Gunawan Tidore salah alamat). Bantuan dana bansos itupun diperoleh melalui prosedur berlapis-lapis, berliku-liku dan kerja lapangan cukup menyita energi maupun waktu. Adalah bentuk profesionalisme yang selama ini selalu saya rawat—sekali lagi tidak menggadaikan integritas saya pada penguasa.

Sebagai warga negara, apakah sikap saya dalam mengajukan proposal bantuan dana bansos merupakan sebuah penggadaian terhadap integritas? Bagi saya, benar-salah tidak dapat dibatasi, karena itu soal tafsiran dan penilaian subjektif masing-masing. Tak seorangpun dari kita yang tidak tahu, kita semua mengetahuinya, bahwa eksistensi negara adalah membantu memajukan kehidupan masyarakatnya, dan salah satunya adalah melalui pengelolaan dana bansos. Seperti dikatakan oleh Harold J. Laski, tujuan eksistensi negara (pemerintah) adalah menciptakan keadaan di mana masyarakatnya bisa mencapai berbagai keinginan, dan harapan hidup secara maksimal.

Namun, apakah ketika mendapat bantuan dana bansos, lalu saya “dianggap” merampas hak milik orang lain seperti kutipan pada akhir tulisannya Gunawan Tidore: Pia in fa, pia in fa. Kit fa, kit fa (orang punya orang punya, kita punya kita punya atau hak milik dan bukan hak milik). Saya tidak begitu memahami
mengapa saudara saya, menggunakan pepatah itu dalam menanggapi artikel saya. Jika benar, itu adalah tuduhan, maka saya mengganggap terlalu dini
berkesimpulan, dan jika itu adalah penanda untuk saling mengingatkan, maka saya teramat sangat berterima kasih.

Suatu hal yang perlu diketahui oleh saudara saya yang budiman, Gunawan Tidore, adalah, tidak ada seorang pejabat penguasa pun yang saya kenali di Provinsi ketika mengajukan proposal bantuan dana bansos. Artinya bahwa, meskipun diberikan dana bansos, lalu kemudian pejabat publik harus mengintervensi pikiran bebas saya untuk tunduk dan patuh pada kekuasaan, yang disebut sebagai integritas yang terpenjara. Sekali lagi, Tidak.

Pun mengenai menikmati fasilitas di Kota Ternate saat ini. Bahwa fasilitas yang saya nikmati adalah bersumber dari SKPD Pemkot Ternate, katanya—lagi-lagi salah alamat. Fasilitas tersebut, bersumber dari sebuah NGO di Kota Ternate, dan karena fasilitasnya tidak difungsikan sehingga dipinjam-pakai kepada saya. Dengan begitu, apakah sikap saya yang menerima pemberian itu layakkah disebut menggadaikan dan memenjarakan integritas saya? Jika saudara saya, Gunawan Tidore menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran, maka, saya tidak bisa membatasi apa yang dianggapnya benar. Dan sebagai ruang dialektika, akan lebih bijak, biarlah publik yang menilai sesuai tafsirannya masing-masing, apakah integritas saya terpenjara atau tidak. Setidaknya saya tidak menceburkan pikiran bebas saya untuk tunduk pada penguasa yang diragukan integritasnya dan pongah terhadap kondisi masyarakat.

Mungkin saja Gunawan Tidore tidak mengupdate informasi pada artikel saya di dua tahun terakhir mengenai masalah sampah di Kota Ternate, Perubahan Iklim, Ancaman Krisis Pangan, Kerusakan Ekologi dan Perampasan Tanah di Halmahera. Di sana tidak ada istilah tebar pujian pada penguasa. Apalagi pada rezim yang integritasnya ibarat mencari perawan di sarang pelacur. Di sinilah saudara saya, Gunawan Tidore yang justru integritasnya terjebak, terpeleset dan jatuh ke dalam daya pesona penjara kekuasaan sehingga cenderung menebar pujian, ketimbang nalar krisis—menutup mata dan nalarnya terhadap kondisi sosial-ekonomi yang relatif menyayat hati.

Terkait dengan perbandingan kekuasaan dua Rezim, saya tidak mempersoalkannya karena bagi saya, mereka pada dasarnya sama: umumnya pembangunan sama-sama mandul. Sebab, pada periode Hendrata Thes, saya pernah menulis artikel terkait kebijakannya di sektor pertanian, dan dengan lantang mengatakan: Hendrata Thes adalah Rezim “Pembantai.” Dalam buku Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi yang ditulis DR. Apridar dkk (2019), menjelaskan kemajuan suatu daerah atau pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui beberapa indikator, misalnya naiknya pendapatan daerah, pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari jumlah pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan. Indikator-indikator tersebut sama sekali tidak ditemukan di Kepulauan Sula, baik pada masa Rezim Hendrata Thes maupun FAM-SAH.

Sehingga menurut hemat saya, hanya melalui pikiran bebaslah fakta penyimpangan, ketidakadilan, manipulatif dan tipu daya penguasa sekiranya dapat diungkapkan sebagai bentuk melawan kebohongan atas nama seperdua kebenaran. Sehingga bagi saya, kebebasan nalar setidaknya mengungkapkan seperdua kebenaran, adalah bagian terpenting dari kerinduan tentang terbebasnya masyarakat dari susah-deritanya. Kebebasan nalar adalah sebagai agen formulatif, nutrisi untuk meminimalisir libid dan menekan anomaly pembangunan yang seharusnya menjadi segmen saudara saya, Gunawan Tidore—bukan keremeh-temehan, pujian dan sebagainya.

Seiring kebekuan pembangunan berkemajuan tersebut, setidaknya kerinduan tentang akhir susah-derita masyarakat terus-menerus dinarasikan, meskipun kita tidak berbuat sesuatu yang berarti untuk mereka. Akhirnya, tulisan cakar ayam ini saya tutup dengan mengutip Albert Camus, Jika kita harus gagal, akan lebih baik ada pada pihak yang memilih kehidupan dari pada pihak yang “memusnahkan” kehidupan (2013:68).