Integritas: Kebebasan Nalar

(Surat Kedua Untuk Gunawan Tidore)
Oleh: Sarfan Tidore

KEPADA saudaraku, Gunawan Tidore yang budiman, melalui catatan cakar ayam ini ada sebuah kerinduan paling rindu yang sulit didefenisikan dengan kata. Kerinduan tentang percakapan akal sehat, percakapan tentang duka-derita orang-orang kecil yang terbentang, tentang kemandekan kekuasaan dan tentang bagaimana porsi profesionalisme di tempatkan—porsi akal sehat ditempatkan dan tidak diintervensi meski ada sikap keberpihakan.

Sebagai orang yang memiliki akal sehat dan bagaimana berhadapan dengan pejabat publik yang cenderung abai pada integritas. Di sini seseorang akan diperhadapkan pada situasi: apakah tetap konsisten dengan integritasnya, menarik diri jika ada hal yang bakal menyibak integritasnya, atau mengabaikan dan bersetubuh dengan penguasa lalu tidak ada rasa peduli dengan problem sosial masyarakat.

Puji-memuji itu baik, tetapi, lama kelamaan akan menjadi patologi bagi kemajuan. Karena di sana, nalar kritis perlahan-lahan bisa iya, bisa tidak tenggelam dalam rahim kekuasaan yang pongah. Ini bukan fenomena baru, karena sudah cukup banyak dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita, nalar kritis mereka seringkali dibatalkan oleh logika kekuasaan dan berakhirnya dengan penyesalan.

Betrand Russell menulis, kehidupan yang baik adalah diilhami oleh cinta dan bimbingan pengetahuan. Mereka yang hidup dengan integritas tidak akan merusak kepercayaan orang-orang yang mempercayai mereka (Dr. Kenneth Boa). Apa jadinya jika seorang pejabat ketika melakukan sesuatu tidak diilhami oleh cinta dan pengetahuan dalam menunjukkan integritas publiknya—kemunafikan atau hipokrit.

Oleh karena itu, mengapa pentingnya saya mengutip percakapan saudara saya, Gunawan Tidore dengan Bupati. Sekali lagi, ini soal integritas, bukan mendapat “apa.” Albert Camus menulis, kejujuran dan kebohongan adalah sesuatu yang abadi. Dalam artian bahwa, kebiasaan seseorang untuk berbohong, maka dimana pun tempat dan dalam peristiwa apapun ia akan selalu berbohong. Pun sebaliknya, yang oleh Pierre Bourdieu disebut habitus.

Hal tersebut, yang sebenarnya saya berupaya menjelaskan pada artikel saya bertajuk: “Integritas” di laman halmaherapost.com. Bahwasahanya, proses demokrasi, politik dan pembangunan akan berjalan baik, jika, dan hanya jika elit politik memiliki integritas. Dan sebagai orang yang pernah bergelut di dunia akal sehat, mestinya menjadi agen perubahan: prinsip gagasan, nilai, norma, kejujuran dalam hubungannya dengan menajemen organisasi.

Saya sangat yakin, jika Gunawan Tidore memiliki pemikiran: basis argument mengenai kondisi faktual untuk mendedah muatan integritas pejabat publik dalam kaitannya dengan politik dan sebagai instrument demi pemajuan daerah. Akan tetapi, yang sangat disayangkan, adalah ia malah berupaya mereduksi penjelasan saya dan bukannya masalah integritas dalam kaitan dengan fakta pembangunan, melainkan masalah privasi saya yang disorotinya: masalah sumber keuangan dan fasilitas yang saya nikmati, katanya, di peroleh pada salah satu SKPD Pemkot Ternate. Sebagai akibatnya, dalam artikelnya bertajuk: “Integritas Terpenjara” di laman halmaherapost.com, ia melayangkan tuduhan berlabel integritas saya terjebak, “membohongi”, tidak lagi jujur dan benar-benar tidak bebas atau terpenjara.

Namun, lagi-lagi Gunawan Tidore salah kaprah dan salah Alamat—mestinya diverifikasi informasi itu dengan baik. Adalah hal yang wajar, bisa dipahami dan saya dapat menerimanya dengan akal sehat, sebab, meskipun diverifikasi, tetapi mustahil ditemukan bukti sebagai suatu kebenaran. Bahwa saya menggadaikan integritas dan tidak bebas atau integritas saya terpenjara di bawah bayang-bayang kekuasaan. Di sinilah kekeliruan Gunawan Tidore yang budiman, karena terlalu dini menyimpulkan suatu kebenaran yang problematis.

Dan meskipun begitu (menuduh saya), tetapi tidak akan ada yang hilang dari kita. Oleh karena ini merupakan ruang dialektika, saya akan memberikan penjelasan singkat terkait tuduhan tersebut. Dalam kedudukan dan dengan sarana yang saya miliki, saya harus melakukan apapun yang dibutuhkan agar kita bisa hidup bersama-sama lagi. Dipertemukan dalam keadaan sehat, berbagi informasi, pemikiran dan berbagi suka maupun duka tanpa pamrih—hanya takdirlah yang dapat memisahkan kita.

Soal berdirinya Commune Coffee, saya tidak mengelak, karena memang dananya dari pemerintah. Sumber keuangan yang saya peroleh, adalah melalui lembaga yang saya dirikan sejak tahun 2019, dan pada lembaga itulah saya mengajukan proposal bantuan dana bansos pada pemerintah Provinsi (bukan SKPD Pemkot Ternate—Gunawan Tidore salah alamat). Bantuan dana bansos itupun diperoleh melalui prosedur berlapis-lapis, berliku-liku dan kerja lapangan cukup menyita energi maupun waktu. Adalah bentuk profesionalisme yang selama ini selalu saya rawat—sekali lagi tidak menggadaikan integritas saya pada penguasa.

Sebagai warga negara, apakah sikap saya dalam mengajukan proposal bantuan dana bansos merupakan sebuah penggadaian terhadap integritas? Bagi saya, benar-salah tidak dapat dibatasi, karena itu soal tafsiran dan penilaian subjektif masing-masing. Tak seorangpun dari kita yang tidak tahu, kita semua mengetahuinya, bahwa eksistensi negara adalah membantu memajukan kehidupan masyarakatnya, dan salah satunya adalah melalui pengelolaan dana bansos. Seperti dikatakan oleh Harold J. Laski, tujuan eksistensi negara (pemerintah) adalah menciptakan keadaan di mana masyarakatnya bisa mencapai berbagai keinginan, dan harapan hidup secara maksimal.

Namun, apakah ketika mendapat bantuan dana bansos, lalu saya “dianggap” merampas hak milik orang lain seperti kutipan pada akhir tulisannya Gunawan Tidore: Pia in fa, pia in fa. Kit fa, kit fa (orang punya orang punya, kita punya kita punya atau hak milik dan bukan hak milik). Saya tidak begitu memahami
mengapa saudara saya, menggunakan pepatah itu dalam menanggapi artikel saya. Jika benar, itu adalah tuduhan, maka saya mengganggap terlalu dini
berkesimpulan, dan jika itu adalah penanda untuk saling mengingatkan, maka saya teramat sangat berterima kasih.

Suatu hal yang perlu diketahui oleh saudara saya yang budiman, Gunawan Tidore, adalah, tidak ada seorang pejabat penguasa pun yang saya kenali di Provinsi ketika mengajukan proposal bantuan dana bansos. Artinya bahwa, meskipun diberikan dana bansos, lalu kemudian pejabat publik harus mengintervensi pikiran bebas saya untuk tunduk dan patuh pada kekuasaan, yang disebut sebagai integritas yang terpenjara. Sekali lagi, Tidak.

Pun mengenai menikmati fasilitas di Kota Ternate saat ini. Bahwa fasilitas yang saya nikmati adalah bersumber dari SKPD Pemkot Ternate, katanya—lagi-lagi salah alamat. Fasilitas tersebut, bersumber dari sebuah NGO di Kota Ternate, dan karena fasilitasnya tidak difungsikan sehingga dipinjam-pakai kepada saya. Dengan begitu, apakah sikap saya yang menerima pemberian itu layakkah disebut menggadaikan dan memenjarakan integritas saya? Jika saudara saya, Gunawan Tidore menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran, maka, saya tidak bisa membatasi apa yang dianggapnya benar. Dan sebagai ruang dialektika, akan lebih bijak, biarlah publik yang menilai sesuai tafsirannya masing-masing, apakah integritas saya terpenjara atau tidak. Setidaknya saya tidak menceburkan pikiran bebas saya untuk tunduk pada penguasa yang diragukan integritasnya dan pongah terhadap kondisi masyarakat.

Mungkin saja Gunawan Tidore tidak mengupdate informasi pada artikel saya di dua tahun terakhir mengenai masalah sampah di Kota Ternate, Perubahan Iklim, Ancaman Krisis Pangan, Kerusakan Ekologi dan Perampasan Tanah di Halmahera. Di sana tidak ada istilah tebar pujian pada penguasa. Apalagi pada rezim yang integritasnya ibarat mencari perawan di sarang pelacur. Di sinilah saudara saya, Gunawan Tidore yang justru integritasnya terjebak, terpeleset dan jatuh ke dalam daya pesona penjara kekuasaan sehingga cenderung menebar pujian, ketimbang nalar krisis—menutup mata dan nalarnya terhadap kondisi sosial-ekonomi yang relatif menyayat hati.

Terkait dengan perbandingan kekuasaan dua Rezim, saya tidak mempersoalkannya karena bagi saya, mereka pada dasarnya sama: umumnya pembangunan sama-sama mandul. Sebab, pada periode Hendrata Thes, saya pernah menulis artikel terkait kebijakannya di sektor pertanian, dan dengan lantang mengatakan: Hendrata Thes adalah Rezim “Pembantai.” Dalam buku Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi yang ditulis DR. Apridar dkk (2019), menjelaskan kemajuan suatu daerah atau pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui beberapa indikator, misalnya naiknya pendapatan daerah, pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari jumlah pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan. Indikator-indikator tersebut sama sekali tidak ditemukan di Kepulauan Sula, baik pada masa Rezim Hendrata Thes maupun FAM-SAH.

Sehingga menurut hemat saya, hanya melalui pikiran bebaslah fakta penyimpangan, ketidakadilan, manipulatif dan tipu daya penguasa sekiranya dapat diungkapkan sebagai bentuk melawan kebohongan atas nama seperdua kebenaran. Sehingga bagi saya, kebebasan nalar setidaknya mengungkapkan seperdua kebenaran, adalah bagian terpenting dari kerinduan tentang terbebasnya masyarakat dari susah-deritanya. Kebebasan nalar adalah sebagai agen formulatif, nutrisi untuk meminimalisir libid dan menekan anomaly pembangunan yang seharusnya menjadi segmen saudara saya, Gunawan Tidore—bukan keremeh-temehan, pujian dan sebagainya.

Seiring kebekuan pembangunan berkemajuan tersebut, setidaknya kerinduan tentang akhir susah-derita masyarakat terus-menerus dinarasikan, meskipun kita tidak berbuat sesuatu yang berarti untuk mereka. Akhirnya, tulisan cakar ayam ini saya tutup dengan mengutip Albert Camus, Jika kita harus gagal, akan lebih baik ada pada pihak yang memilih kehidupan dari pada pihak yang “memusnahkan” kehidupan (2013:68).   


Pemulihan Bahasa Daerah dan Tanggungjawab Keluarga Batih


Oleh Jurnalis ModeratorSua: Gunawan Tidore

Beberapa bulan lalu dunia pendidikan diramaikan dengan lomba Bertutur Bahasa Daerah di tingkat kabupaten maupun Provinsi di Maluku Utara. Perlombaan berupa baca puisi, cerita pendek dan pantun. Semuanya menggunakan bahasa daerah. Lomba ini diikuti para siswa tingkat Sekolah Dasar dan dan SMP.

Perlombaan ini merupakan fasilitas Pemerintah untuk menjembatani generasi mengenal kembali bahasa ibu mereka. Bahkan secara formal, bahasa daerah didorong masuk dalam kurikulum sekolah. Sebagai langkah ikhtiar, kita mengapresiasi hal ini. Namun langkah ini juga sekaligus menutupi kesalahan sejarah pendidikan kita.

Lewat pendidikan formal bahasa daerah pernah tersisih. Sebagian kita mungkin ingat. Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, bagi siswa yang menggunakan bahasa daerah saat bersekolah dijustifikasi sebagai anak yang akan mengalami “kebodohan”. Kalimatnya saya masih ingat persis: “Jangan terlalu berbahasa daerah, nanti kita bodoh.” Stigma seperti ini justru keluar dari mulut para pendidik dan beredar luas di areal sekolah bahkan di luar sekolah kala itu.

Padahal habitat penggunaan bahasa daerah para siswa datang dari keluarga batih. sebagai langkah awal siswa itu belajar. Ketika masuk di lingkungan sekolah, para penutur mulai cemas menggunakan bahasa daerah karena tekan pendidikan formal. Bahkan ketika kedapatan para siswa bertutur menggunakan bahasa daerah di lingkungan sekolah akan hukuman fisik. Ini juga bagian dari pelenyapan bahasa daerah itu sendiri.

Pelenyapan bahasa-bahasa lokal atau daerah sebagaimana ditunjukan Jared Diamond dalam : The Word Until Yesterday (Dunia Hingga Kemarin) Apa Yang Kita Dapat Pelajari Dari Masyarakat Tradisional.?. Diamond menunjukan beberapa faktor pelenyapan langsung bahasa lokal. Pertama, membunuh para penurut secara langsung yang dialami orang Suku Yahi di California Amerika atas pembantaian para Pemukim Eropa sekitar tahun 1853. Para Kolonis Britania melenyapkan bahasa asli Tasmania diawal tahun 1800-an dengan cara membunuh orang-orang Tasmania. Selain itu, Kebijakan Pemerintah Amerika yang melarang bahasa-bahasa lokal di sekolah-sekolah. Faktor lainya adalah meningkatnya mobilitas sosial serta pernikahan berbeda Suku.

Abdul Rachman Patji, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukan sekitar 169 bahasa etnis di indonesia, dan sekitar 10 persen masyarakat yang masih berbicara menggunakan bahasa daerah (sumber: http://www.beritasatu.com). Di Papua, pengaruh mobilitas penduduk yang berdampak pada semakin berkurang orang menggunakan bahasa lokal. Sekitar 20 orang yang masih menggunakan bahasa Uskup, atau Kosare, Taore-So dan Taoqwe yang hanya memiliki 50-an penutur, pada hal sekitar 200 bahasa lokal di Papua itu (Irwan Abdullah, 2010: 94-95).

Di Provinsi Maluku Utara, terdapat 30 bahasa daerah yang menurut Kepala Pusat Bahasa Provinsi Maluku Utara, A. Siruah, menemukan ada tujuh bahasa daerah yang penuturnya kurang dari seribu orang. Bahasa tersebut rata-rata bahasa yang berada di pedalaman Pulau Halmahera. Sementara dari hasil penelitian Pusat Bahasa Provinsi Maluku Utara, disampaikan oleh Sanggo bahwa terdapat 30 bahasa yang dikelompokkan dalam 17 kelompok bahasa daerah di Maluku Utara. Dari jumlah tersebut, satu bahasa sudah dinyatakan punah dan tujuh terancam punah. (Tempo, 12 Januari 2012). Lantas, apa pentingnya melestarikan bahasa daerah.?

Menurut penulis, ada tiga poin penting pelestarian bahasa-bahasa ibu. Pertama, mendorong kita menguasai lebih dari satu bahasa atau disebut Diamond sebagai bilingual atau multilingual sehingga tidak membatasi komunikasi dengan masyarakat lainya. Kedua, memperkaya pengetahuan lokal (Local Wisdom) dan berikut, dengan mengunakan bahasa lokal, indentitas kelompok masyarakat tidak mudah lenyap.

Sebagai penutup, pelestarian bahasa daerah, tidak cukup dengan mengadakan perlombaan yang sifatnya seremoni belaka, juga tidak berhenti pada penerapan kurikulum di sekolah yang justru membatasi percakapan di lingkungan keluarga batih. Lebih dari itu, harus membangkitkan kembali mental agar siswa tidak minder menggunakan bahasa daerah di luar lingkungan sekolah. Dan, penerapan kurikulum harus melibatkan keluarga batih sebagai pengajar non formal.

“DONGA” SEJARAH GEDUNG MTQ

Oleh: Rasman Bumaona
Ana, kamong dari Sanana?
Saya Tete. Jawab dua orang anak muda kepada seorang kakek yang sedang duduk di depan rumahnya.

Kamong Lia orang su gusur gedung MTQ ka?” Kakek kembali bertanya.

“Sudah Tete. Dong sementara bagusur,” Jawab anak muda itu kembali.

“Bahu ini ta. Bahu ini yang pikul kayu waktu kerja gedung itu,” lanjut si kakek dengan nada sedih dan air mata yang mulai menetes.

(Dialog antara dua orang anak muda yang baru saja ditugaskan di Desa Baleha, dengan seorang Kakek pada tahun 2007).

Dulunya Gedung MTQ berada di halaman Benteng Van Der Wachting (Benteng Sanana) dan terletak diantara Rumah Adat dan gereja milik keluarga kami umat Nasrani.

Gedung ini di bangun secara gotong royong oleh masyarakat Sula dalam rangka menyambut Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) pertama di Kecamatan Sanana.
Sewaktu Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula (HPMS) dan masyarakat berjuang memekarkan Sula menjadi Kabupaten, gedung MTQ menjadi salah satu tempat konsolidasi dan mobilisasi. Gedung MTQ adalah saksi sejarah atas perjuangan yang panjang itu.

Usaha memekarkan Sula menjadi kabupaten yang definitif telah di mulai sejak tahun 1959. Dan di gedung MTQ, rapat-rapat dilakukan. Penugasan-penugasan dijalankan. Iuran-iuran diusahakan dan dikumpulkan, dan lain sebagainya.

Atas perjuangan panjang HPMS dan masyarakat Sula, tanggal 31 Mei Tahun 2003, Kepulauan Sula dimekarkan menjadi Kabupaten baru. Masyarakat bersuka cita menyambut hasil perjuangan mereka yang dilakukan sudah begitu lama.

Tahun 2004 Pilkada dilaksanakan. Hi. Ahmad Hidayat Mus atau yang biasa disapa AHM terpilih menjadi Bupati. Baru tiga tahun berkuasa, gedung MTQ pun ia gusur. Begitu juga dengan rumah adat dan gereja. Di atas lahan tiga bangunan ini, AHM membangun kediaman bupatinya yang dinamakan Istana Daerah (ISDA).

ISDA berdiri. Gedung MTQ lenyap.
Lenyapnya gedung MTQ menandai lenyap pula hubungan generasi muda Sula hari ini dengan tempat yang penuh dengan nilai sejarah itu.

AHM telah berhasil. Berhasil melucuti ingatan dan ikatan sejarah perjuangan pemekaran dari generasi muda Sula hari ini dengan gedung MTQ. Berhasil mengubur kerinduan dan nostalgia akan banyak kegiatan dan momentum yang pernah diadakan di gedung MTQ. Dan juga berhasil menghapus usaha dan keringat dari orang tatua yang bergotong royong membangun gedung MTQ agar tidak lagi mengucur membasahi badan dan ingatan anak cucunya. Beta, ale, deng gandong dong samua telah dipaksa melupakan sejarah ini. Kita hanya akan mengingat ISDA dan siapa pendirinya.

Mengingat ISDA adalah mengingat AHM. Itulah tujuannya sejarahnya, sehingga anak-anak muda hari ini dan yang akan datang tidak lagi menari dengan DONGA SEJARAH GEDUNG MTQ.

Selamat Ulang Tahun Ibu Bupati dan Selamat Ulang Tahun Gedung MTQ. (PANAG PON).

Kisah Pilu Alat Tangkap dan Kehidupan Nelayan

Oleh: Sarfan Tidore

Senin, 05 Juli 2022, tepat pukul sembilan malam kondisi alam tampak tak bersahabat—hembusan angin kadang melambat disertai gerimis, sejenak berhenti, kadang kencang sekali.

Gas motor saya kencangkan dan knalpot teriak ramai menuju Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Berhenti di depan sebuah rumah kontrakan dan motor saya parkir di pinggiran jalan setapak. Pintu rumah terbuka lebar, ada tiga orang duduk bersila berhadap meja menatap lembaran buku, kala saya melempar pandang.

Saya melangkah masuk. Pandang saya tertuju pada sosok pria berusia senja duduk bersila, dan bersandar di dinding samping pintu kamar depan. Lelaki itu menarik tembakaunya dalam-dalam lalu melepaskan kepulan asapnya, sembari nikmati secangkir kopi hitam pekat. Kelopak mata dan senyumnya melebar. Selebar pintu di belakang saya. Saya pun lempar senyum lalu berjabat tangan sambil membungkuk kepala. Sudah menjadi tradisi orang Maluku Utara. Membungkuk adalah suatu laku perbuatan memiliki nilai yang melekat dan dianut bersama yang disebut, etika berjabat tangan. Tanpa basa-basi iapun dengan nada datar menawari saya kopi. Baru habis ngopi di warung kopi, ucap saya dengan perasaan begitu senang malam itu.

Lelaki usia senja ini bernama Muhammad Jen Tidore. Biasanya disapa om Pita. Berasal dari kepulauan Sula. Demi melepas rindu, om Pita pergi ke Ternate untuk bertemu anak bungsunya yang melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Ternate.

Beberapa hari lalu saya menerima informasi dari teman saya bahwa beliau akan berangkat ke Ternate. Ada rasa gembira di lubuk hati, sebab sudah sangat lama saya ingin bertemunya untuk menggali informasi soal alat tangkap fofa (bubu). Ini adalah kesempatan terbaik, pikiran saya berkata.

Om Pita adalah generasi terakhir yang tahu dan pahami betul proses pembuatan alat tangkap ikan itu. Kesempatan itu akhirnya datang juga, dan menurut saya informasi ini sangat penting dan berharga, sebab—ada produk gagasan berada di ujung kepunahannya. Pria kelahiran 1952 ini tak kalah dalam pekerjaan—geluti dua pekerjaan sekaligus diantaranya nelayan dan petani. Dia menuturkan aktivitas melaut sejak usia 10 tahun. Gunakan perahu sampan, kail (kaihi) dan reket (nilon pancing ikan). Kaihi (kail) diikat di reket dan besi sebagai pemberat (lot)

Di ujung nilon yang jarak dari kaihi berkisar satu meter. Alat tangkap sederhana ini digunakan untuk bamai (mancing) ikan dasar.

Selain bamai (pancing), dia pun gunakan alat tangkap dan orang Sula menyebutnya fofa (igi) sebagai perangkap ikan. Fofa digunakan untuk menangkap ikan sejak dari tetenya lalu diturunkan kepada ayahnya. Saya tidak tahu pasti, katanya, bagaimana dan dari mana orang tahu cara pembuatan fofa. Tak sempat tanya pada mendiang ayahnya dari mana dan kapan orang tahu membuatnya dengan raut wajah agak sesali.

“Pengetahuan tentang fofa bisa jadi orang belajar dari alam. Fofa itu alat jebakan. Misalnya saja, di laut banyak batu dan karang yang memiliki lubang. Ikan bebas masuk-keluar, bermain, bertelur, cari makan dan tidur”.

Pengalaman lewat mata, orang berpikir bagaimana caranya dapat ikan dengan jumlah banyak. Dengan begitu, bisa saja melalui penglihatan orang kemudian berpikir untuk bikin alat tangkap serupa batu yang ikan dapat masuk, tetapi tidak dapat keluar. Pengalaman itu, dan lewat akal orang dapat ciptakan fofa, katanya menduga.

Dia menjelaskan, setahunya sejak masih kecil hingga dewasa ayahnya adalah pembuat alat tangkap fofa. Sejak kecil saya sering membantu ayah ambil bahannya di hutan dan bantu membuatnya. Hingga akhirnya, saya pun tahu membuatnya tanpa diajari secara langsung, kenangnya.

Melalui mata dan kerja, kita bisa tahu—tak perlu diajari langsung, katanya. Kalau hanya dijelaskan masih sulit kita tahu. Tetapi mengerjakan adalah cara belajar paling cepat. Dari sekian banyak anaknya, hanya satu yang mahir membuat fofa. Tetapi anaknya juga merantau, jarang pulang dan saya pun tak tahu pasti apakah dia masih tahu bikin atau tidak.

Rokok tembakau ditarik dalam-dalam lalu meniup asapnya sembari dengan nada pesimis mengatakan, sayang sekali fofa sudah jarang digunakan orang untuk menangkap ikan. Mungkin suatu ketika alat tangkap ini akan hilang, prediksinya. Padahal fofa (bubu) adalah satu dari sekian alat tangkap ikan tradisional yang tidak merusak ekosistem laut.

Hilang bukan karena hilang, katanya, tetapi tidak ada lagi yang mempelajarinya. Padahal bahannya sederhana, tak butuh biaya ketimbang alat tangkap modern. Saat ditanya, jika dibikin dalam jumlah banyak bukankah rotan, bambu dan tali hutan terancam habis.

Dia menjelaskan cara berpikir seperti demikian tidak tepat. Bila membuatnya dalam jumlah banyak sudah pasti mereka lindungi rotan, bambu dan tali hutan. Yang hilang bukan bahannya (artefak), tetapi pengetahuannya tidak dipelajari generasi.

Air mata langit dan angin malam itu seolah bersetubuh dan mendesah kencang akibatnya—hawa dingin menerabas tubuh hingga tulang lelaki usia senja itu. Iapun berkeluh dingin dan ngantuk sekali. Kopi hitam pekat pun tak mampu menangkis ngantuknya dan kami pun memutuskan tali perbincangan.

Kisah dan jenis alat tangkap lainnya datang dari seorang nelayan asal Tidore Kepulauan (Tikep). Sore itu, 13 April jarum jam tepat pukul empat. Pesisir pantai desa Cobodoe, Kecamatan Tidore Timur, Maluku Utara. Sore itu air laut sedang pasang dan saya lihat lima orang bolak-balik memegang semacam entah kayu atau besi seukuran jari tangan dan ditaksirkan satu meter.

Mereka merunduk lalu tangan dimasukkan ke dalam air mengambil sesuatu dan ditaruh di dalam ember. Kadang menusuk-nusuk menggunakan penggalan besi atau kayu tersebut. Saya menduga, mereka sedang mencari kerang dan gurita.

Laut begitu teduh. Sampah plastik menempel di bebatuan dan batang kayu lalu bergoyang mengikuti irama riak ombak kecil di tepi pantai. Hutan pegunungan menghadirkan pemandangan hijau nun indah dan angin sepoi membuat kelopak mata menahan ngantuk.

Om Man nama sapaannya. Nama sebenarnya Abdurrahman penduduk desa Cobodoe, nelayan tangkap ikan. Duduk di tempat duduk panjang memandangi laut. Di samping kanannya ada sebuah ember biru kecil dan dalamnya ada tiga gulungan nilon. Saya menduga kalau pria ini siap-siap mau melaut.

Ternyata dugaan saya meleset. Saya pun sodorkan pertanyaan, om Man mau mangail (melaut)? Tarada (tidak) jawabnya. Saya hanya ikat gumala (kail) di nilon, lanjutnya sambil senyum tipis lalu melempar pandang di ember berisi nilonnya.

Om Man biasa mangail dimana? Tanya saya. Dia menghela nafas panjang lalu menatap lautan juah. Yaa, kalau mau dapat hasil tangkapan lebih, mangail dekat pulau Halmahera sana. Kenapa tidak dekat-dekat, di depan sini misalnya. Tanya saya sambil menunjuk seseorang dengan perahu sampan di depan kami yang jaraknya diperkirakan 300 meter.

Ia melempar pandang pada perahu itu lalu berkisah pengalaman melautnya. Sudah berulang kali saya mangail (melaut) di depan sini, jangankan jual, makan saja tak cukup. Terkadang hanya dapat dua ekor itupun butuh berjam-jam dan menahan terik panas yang serasa membakar tubuh. Sambil perlihat kulit di batang tangannya, lihat kulit saya, biskotu (hitam) kayak aspal sambil melebarkan tawanya.

Barangkali ikan sudah tak ada di sekitar ini, lanjutnya lalu menunduk pesimis. Ngana (kamu) tahu, padahal dulunya mangail (pancing) di malam hari kita cukup duduk di pesisir laut dan hasilnya juga banyak. Bahkan bisa jual di tetangga, katanya.

Apalagi gunakan perahu, sambil menunjuk seorang nelayan sedang melaut di depan kami dan berkata, itu sudah sangat jauh. Seratus meter dari garis pantai dan dua jam saja, hasilnya sangat memuaskan.

Sambil menunjuk air laut dan dia menjelaskan lihat saja, laut sekarang tidak lagi jernih. Air laut makin keruh, berkabut, sampah juga banyak. Yang saya heran adalah dulu batu dan terumbu karang banyak sekali. Tapi sekarang malah banyak pasir, batu dan terumbu karang jauh berkurang.

Dulu kalau mandi pantai hampir tak ada pasir. Berenang lalu berdiri di atas batu-batu besar setinggi tiga sampai empat meter. Anehnya—batu-batu itu tak lagi ada dan bahkan air laut makin hari tamba naik mendekati perumahan penduduk. Untung-untung ada swering. Jika tidak, mungkin—sudah mlelewati batas swering.

Benar adanya, sebab bersama ipar saya, pernah kami memasang jaring dan tak ada batu maupun karang. Hanya pasir putih dan lamun pun hidup kelompok-kelompok kecil. Sekali waktu memasang jaring mulai azan magrib hinga jam sepuluh malam dan hanya dapat empat ekor ikan samandar (uhi) panjang lima senti meter, tipis kurus kerempeng. Sejak saat itu saya tak lagi ikut menjaring ikan.

Sekarang ini bila ingin mendapat hasil tangkapan banyak kita harus melaut di laut jauh. Entah mungkin karena pengaruh batu, terumbu karang dan air lautnya kotor berakibatnya—ikan pindah di tempat lain, katanya.

Om Man menjelaskan, beberapa kali saya melaut di lauatan Halmahera mulai jam sembilan malam hingga jam lima subuh—hasilnya hanya delapan ekor. Tiba-tiba raut wajahnya berubah tiga puluh derajat. Ada rasa sedih di raut wajahnya dan berkata, selama tiga bulan saya tak punya pendapatan sama sekali.

Tiga bulan itu saya berutang untuk membayar biaya sekolah anaknya. Beginilah kehidupan nelayan, pendapatan tergantung cuaca dan hasil tangkap, katanya, sambil menunduk dan mengatup matanya. Kedua telapak jarinya, ia angkat lalu mengusap wajahnya sedikit menindih.

Musim ikan pun berubah-rubah, tak menentu. Mungkin pengaruh alam. Dalam berbagai literatur perubahan ini adalah fakta soal pemanasan global, bukan perubahan alam secara alamiah. Pikiran saya berkata dalam diamku.

Nelayan kecil seperti kami ini, tak berharap banyak menambah pendapatan dari hasil melaut. Sebab, menjauhnya ikan ke laut dalam bikin banyak nelayan tercekik—pendapatan menurun drastis. Mereka yang menggunakan perahu bermesin saja pulang melaut bukannya untung—malah rugi. Harga hasil tangkapan tak dapat menutupi harga minyak.

Om Man menceritakan kisah temannya. Temannya beli perahu ketinting dengan harga tiga puluh juta. Perahu itu digunakan melaut selama satu tahun lebih dan pendapatan belum sampai setengah dari modal yang dikeluarkan. Bahkan terkadang temannya sering ribut dengan istri karena melaut tak dapat hasil.

Sekali waktu istri memarahinya dan bilang, perahu itu sebaiknya dijual saja bila tak menghasilkan uang. Percuma buang-buang uang, tak ada guna dan bikin hidup kita tambah susah, om Man mengutip perkataan istri temannya sambil menggeleng kepala. Saya berupaya membaca pikirannya, semacam ada rasa sesali atas keputusan temannya

Nelayan kecil seperti kami ini sulit untuk berkembang. Tuhan pun tak bisa menolong. Sambil tertawa lepas, hahahahaaaa, basedu (bercanda), katanya.

Bagaimana menurut ngana (kamu), Om Man bertanya. Hmmmm, saya tidak tahu soalnya belum pernah mangail (melaut) di sini. Dari balik pintu kios terdengar suara seseorang memanggilnya, om Man, om Maaann. Sayaaaaa, sahutnya. Kami pun mengakhiri pembicaraan kala senja melukis bentuknya sore itu. Suara tarhim di mesjid pun mulai berkumandang, penanda bahwa terang perlahan ditelan malam.

Saya mencatat kisah kedua nelayan ini sebagai kisah pilu kehidupan nelayan dan alat tangkap tradisional sedang berada di tepi kepunahan. Suatu perubahan yang justeru mengancam pengetahuan lokal, dan dalam kaitannya dengan kerentan ekonomi nelayan. Adalah akibat dampak modernitas dan degradasi ekosistem laut.

Editor: Tim

Catatan Dibalik Gempa, di Gane Barat

Sedih mencekam pada raut wajah penduduk Gane kala itu. Tangis pun pecah membelah hening, disaat penduduk menatap puing-puing rumahnya yang hancur. Gempa (bencana alam) diduga hanya menyisakan proyek meraup untung oleh segelintir orang.

Oleh: Sarfan Tidore

Penduduk desa di Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara mengungsi di pesisir pantai, bukit, jalan-jalan dengan peralatan, pakaian dan makanan seadanya. Suasana tampak ramai, tapi juga sedih dan luka dalam diam pada raut wajah mereka.

Tulisan cakar ayam ini hanyalah catatan perjalanan sewaktu saya melakukan kegiatan survey pada Agustus 2022 di sebuah desa, yakni Desa Lemo-Lemo, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan.

Pada suatu siang panas sang surya tak mengenal belas kasih, di pesisir pantai Desa Lemo-Lemo hari itu menyisakan puing-puing rumah yang hancur-berantakan. Adalah suatu kondisi yang menggambarkan kondisi masyarakat sedang berjuang memperbaiki kehidupan setelah bencana alam.

Tasin (inisial red), seorang penduduk Desa Lemo-Lemo mengenang kisahnya dan mengatakan: hari itu, tepat 14 Juli 2019 Penduduk Gane diguncang gempa bumi berkekuatan hingga 7,2 magnitude. Skala getarannya hampir dirasakan semua penduduk di Maluku Utara.

Rumah dan seisinya bergoyang lalu terpelanting. Penduduk terbangun dari tidurnya dengan panik, mereka berupaya menyelamatkan diri dari ancaman maut. Teriakan, tangisan bergema di jalanan sembari berlari menuju ketinggian.

“Pasca gempa sebagian orang menatap puing-puing rumahnya yang hancur dengan sedih dan luka. Tak ada kelakar, senyum, hanya menyisakan kesedihan begitu mendalam sampai-sampai tangis ibu-ibu pun pecah membelah hening,” kata Tasin.

Di Desa Lemo-Lemo, katanya, 79 rumah kategori rusak berat, 39 rusak sedang dan 3 rumah rusak ringan. Pemerintah Halmahera Selatan, lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupaya mengatasi penderitaan mereka dan membangun bangun Rumah Tahan Gempa (RTG). Proyek ini ditangani oleh seorang aplikator bernama Tomas. 

Tasin menjelaskan rencana pembangunan RTG ini bahkan tidak dilakukan sesuai prosedur, sebab tak ada sosialisasi dan secara tiba-tiba pemerintah desa membentuk Persatuan Organisasi Masyarakat (Pokmas). Tujuan dibentuknya Pokmas adalah untuk mengurusi persyaratan administrasi pembangunan RTG, dan Hatab seorang warga dipercayakan sebagai ketua Pokmas.

Total dana Rumah Tahan Gempa senilai Rp 3.950.000.000 (tiga milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah). Dana satu unit rumah senilai Rp 50.000.000 (juta) dan 79 rumah kategori rusak berat yang rencananya akan dibangun RTG.  

Pada Maret 2021, BPBD memberikan DP (dana pinjaman) kepada aplikator 30 persen dari total dana 50 juta/unit rumah. Dana sebanyak Rp 237.000.000 ditransfer kepada aplikator, katanya, dengan tujuan pengurusan bahan dan peralatan. Tetapi hingga akhir Maret tidak ada informasi sama sekali. Padahal waktu itu mereka dijanjikan bulan April bahan-bahan bangunan RTG sudah didatangkan aplikator.

Tasin menjelaskan, diawal bulan April Pokmas bertemu kepala BPBD dan mendiskusikan masalah tersebut, mengapa RTG belum juga terlaksana. Alasan belum direalisasikannya RTG karena pertama, aplikator terkendala pandemik covid-19. Kedua, pesanan bahan dan peralatan belum tersedia dipasaran akibatnya tertunda. 

“Pada pertemuan itu kami pun meminta agar dana itu ditransfer ke penerima agar dibangun oleh masing-masing orang yang rumahnya kategori rusak berat. Tak bisa selamanya kami tinggal di gubuk pengungsian,” katanya. Pihak BPBD tak mau mencairkan dana kepada penerima dengan alasan jangan sampai disalah-gunakan dan dana tersebut akan ditransfer kepada aplikator untuk membelanjakan bahan-bahan RTG.

Di pertengahan April Pokmas melakukan pertemuan dengan DPR. DPR bahkan menyampaikan ternyata mereka baru mengetahui adanya pembangunan RTG oleh Pemerintah daerah. Pertemuan dengan dewan pun tidak membuahkan hasil pasti yang memuaskan. Mereka (DPR) sebatas berjanji akan membantu berkoordinasi dengan Pemda agar mempercepat prosesnya.

Pada bulan Mei, lagi-lagi Pokmas mendatangi kantor BPBD dan mereka meminta kejelasan mengapa RTG masih belum terealisasi. “Karena tidak mendapat kejelasan pasti yang masuk akal akibatnya mereka membatalkan pembangunan RTG di Desa Lemo-Lemo.”

Tasin menjelaskan bahwa, Rumah Tahan Gempa ini sebenarnya sejak awal sudah ditolak penduduk desa. Sebab rumahnya kecil, atapnya pun rendah dan hanya terdapat dua kamar tidur. Hanya saja kami dibujuk oleh seorang Juknis (Petunjuk Teknis) murah hati dan mengingat karena tinggal di gubuk pengungsian hingga kami pun harus menerima kehendak pemerintah daerah.

Dia menjelaskan, “kami terkena gempa hidup dalam kubangan penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan justru diduga dijadikan proyek meraup untung oleh segelintir orang. Atau dengan kata lain, bencana adalah momentum penting mengeksploitasi penderitaan masyarakat oleh oknum pejabat publik dan swasta. Sebab dana itu akhirnya hilang, entah dikemanakan atau hilang termakan waktu.

Situasi ini sejalan dengan konsep Naomi Klein, yang disebut “Disaster Kapitalism” (kapitalisme bencana). Kondisi bencana membawa tiga agenda besar bagi pemerintah yakni, (1) peningkatan peran konstituen swasta, (2) menjadikan bencana sebagai alat dan celah masuk kepada ketergantungan terhadap negara (pemerintah), dan (3) mempromosikan kepentingan pengusaha swasta, (Dewi, dkk 2020). 

Bencana yang terjadi dan lagi-lagi disaat bersamaan dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha dan elit lokal demi kepentingan mereka tanpa memperhatikan efek dari perbuatannya. Suatu perbuatan menambah panjangnya jurang penderitaan terhadap masyarakat.

Masyarakat yang rentan secara ekonomi, kehancuran dan perjuangan untuk pulih justru dieksploitasi setelah terjadinya bencana. Kerentanan tersebut menjadi semakin nyata ketika swasta campur tangan dalam upaya memperbaiki kondisi hidup masyarakat. Situasi ini tampak begitu nyata dalam kebijakan pembangunan Rumah Tahan Gempa di Desa Lemo-Lemo yang kala itu dipimpin oleh rezim Bahrain Kasuba dan melalui pihak kedua.

Kapitalisme bencana, terjadi ketika kepentingan pribadi turun ke wilayah tertentu setelah peristiwa destabilisasi besar, seperti…dan bencana alam, tulis Klein. Merupakan suatu tanggapan terhadap bencana dalam melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat, tetapi juga, sebagai peluang lain untuk memperoleh keuntungan dibalik bencana alam.

Perbuatan tersebut menghadirkan kepasrahan masyarakat pada situasi dan terjun bebas dalam jurang penderitaan. Hingga titik tertentu masyarakat berupaya beradaptasi agar setidaknya dapat keluar dari kondisi yang mereka alami tanpa ketergantungan pemerintah. Konsep adaptasi menurut Mulyadi, adalah bagian dari proses evolusi manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. 

Sejalan dengan itu, saya pun menerima informasi dari penduduk bahwa mereka tak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah. Kala itu masyarakat lantas memutuskan membangun rumahnya masing-masing dan tak mengharapkan lagi bantuan pemerintah. Ada 27 kepala keluarga dengan jerih payah dan tahap demi tahap mereka membangun rumahnya menggunakan dana pribadi. Meskipun belum selesai 100%, tetapi sudah bisa ditempati dan luas rumah pun tidak sesempit RTG.

Tasin menjelaskan sejak bupati Usman dilantik, pemerintah daerah mulai menaruh perhatian terhadap masyarakat Gane yang kena gempa. Pada Juli 2022 anggaran tahap pertama telah dicairkan dan 27 rumah yang menggunakan dana pribadi diganti oleh pemerintah daerah. 

Sedangkan 52 rumah lainnya sekarang masih dalam proses membangun dan desain rumah yang dibangun pun sesuai kehendak penduduk, bukan Rumah Tahan Gempa. Dana bantuan pun dikirim langsung ke rekening masing-masing penerima bantuan, tidak lagi lewat pihak kedua (swasta) seperti yang dilakukan mantan bupati Bahrain Kasuba.

Editor: Tim

Paradoks Birokrasi Pemerintahan; Sebuah Auto Kritik Menuju Transformasi Birokrasi yang Bersih dan Berwibawa

BIROKRASI pemerintahan sering kali menjadi pusat perhatian dan kritik masyarakat dalam berbagai negara. Paradoks birokrasi merujuk pada situasi di mana sistem birokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan pemerintahan yang efektif dan efisien malah menjadi hambatan atau kendala bagi kemajuan dan perubahan yang diinginkan.

Salah satu aspek paradoks birokrasi adalah adanya kecenderungan birokrasi untuk menjadi lambat, kompleks, dan terkadang korup. Birokrasi yang berbelit-belit dan terlalu berlebihan dalam prosedur dan peraturan dapat menghambat efisiensi dan inovasi.

Selain itu, ketidaktransparan dan rentan terhadap praktik korupsi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sebagai sebuah paradoks, birokrasi juga merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga stabilitas dan konsistensi dalam pengambilan keputusan pemerintah. Birokrasi yang berfungsi dengan baik dan berwibawa dapat membantu memastikan penerapan kebijakan yang adil dan konsisten.

Peran birokrasi dalam menjalankan fungsi-fungsi inti pemerintahan, seperti pengawasan, pengaturan, dan pelayanan publik, tidak dapat diabaikan.

Untuk mencapai transformasi birokrasi yang bersih dan berwibawa, perlu adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait.

Beberapa langkah yang dapat diambil untuk kemudian dapat di terapkan antara lain:
Reformasi kebijakan:
Evaluasi dan penyempurnaan kebijakan yang ada, menghilangkan peraturan yang tidak perlu, memperpendek proses birokrasi yang berbelit-belit, dan menjadikan Regulasi sebagai sandaran dalam pengambilan keputusan. Hal ini tentunya akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan sekaligus dapat memberikan kejelasan kepada masyarakat.

Transparansi dan akuntabilitas:
Mendorong terciptanya transparansi dalam proses pengambilan keputusan maupun kebijakan birokrasi Pemerintah dan sekaligus dapat menyediakan mekanisme akuntabilitas yang kuat. Hal ini tentunya dapat dilakukan melalui penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan akses yang lebih mudah terhadap informasi dari pemerintah.

Peningkatan kompetensi dan profesionalisme: Memberikan pelatihan dan pendidikan yang memadai bagi pegawai birokrasi, serta mendorong pengakuan dan penghargaan terhadap prestasi kerja yang berkualitas. Pemilihan pegawai berdasarkan kualifikasi dan kompetensi yang jelas juga penting untuk membangun birokrasi yang berkualitas.

Pemberantasan korupsi:
Meningkatkan pengawasan terhadap praktik korupsi dan memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelaku korupsi. Penegakan hukum yang adil dan efektif akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.

Transformasi birokrasi yang bersih dan berwibawa adalah proses jangka panjang yang memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengawasan dan mendukung perubahan yang diperlukan. Dengan upaya kolaboratif yang tepat, paradoks birokrasi dapat diatasi, dan birokrasi dapat berfungsi sebagai alat yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembangunan dan pelayanan publik yang baik.(*).

20 Tahun Usia Negeriku

“Perubahan status Sula menjadi kabupaten melalui perjuangan pendahulu dalam kurun waktu yang sangat panjang, apa salahnya bila kita yang saat ini menikmati hasil perjuangan itu sedikit merunduk untuk menghormati hasil perjuangan mereka

Oleh: Mohtar Umasugi, Mahasiswa pascasarjana (S3)

Menghormati perjuangan pendahulu bukan sekedar menabur bunga disaat upacara ulang tahun kabupaten setahun sekali. Tetapi lebih dari itu, substansi menghormati dan menghargai hasil perjuangan itu adalah adanya kesucian jiwa dan keikhlasan berbuat serta rasa memiliki yang dalam, sehingga benar-benar tertanggung jawab atas amanah yang sedang di emban.

Andai saja setiap anak negeri ini memiliki kesadaran akan tanggung jawab sejarah yang ada di pundaknya maka memasuki usia ke 20 tahun, seharusnya ‘wajah’ negeri ini sudah menampakkan kesejukan dan keceriaan pada semua orang yang akan tersenyum saat menatapnya. Namun demikian, harapan akan keadilan dan kesejahteraan di berbagai aspek pembangunan secara signifikan belum dirasakan oleh masyarakat.

Ingatlah, bahwa cita-cita perjuangan pemekaran itu adalah kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan elite, birokrasi dan politisi, bukan kesejahteraan kelompok dan individu demi mempertahankan kekuasaan oligarki, bukan pula untuk menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi serta membangun rezim yang otoriter. Negeri ini milik bersama bukan milik yang berkuasa sehingga egois dalam mengambil sebuah kebijakan.

Olehnya, teman-teman dan orang-orang hebat yang saat ini diberi kepercayaan untuk mengurus negeri ini harusnya bersyukur bahwa adanya kesempatan untuk berbuat. Maka berbuatlah yang sesungguhnya sebagai wujud tanggung jawab sejarah, jangan menyia-nyiakan kesempatan yang begitu mahal mungkin saja di hari esok menjadi amal jariyah. Wallahu ‘alam bissawab.

Pojok Warkop Air sonton, 29 Mei 2023