Sekwan Akui Rumah Dinas DPRD Sula Tidak Layak Huni

MODERATORSUA.COM, SANANA – Sekretaris Dewan (Sekwan) Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, mengakui rumah Dinas anggota DPRD sudah tidak layak lagi untuk dihuni.

Hal itu disampaikan Sekretaris Dewan (Sekwan) Ali Umanahu saat dihubungi melalui telepon seluler. Dia mengategorikan sebagai rumah tidak layak huni.

“Rumah itu kosong karena rata-rata rumah itu kategori tidak layak huni, ada yang plafonnya rusak, atap bocor terus tempat parkirnya juga rusak,” kata Ali Umanahu, Sabtu (12/08/2023)

Ali menyebut, pihaknya pernah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) terkait perbaikan rumah dinas DPRD di APBD induk tahun 2023, namun belum terakomodir.

“Kita mau anggarkan melalui Sekretariat, tapi tidak punya tenaga perencanaan untuk menghitung itu (anggaran), makanya saya minta dianggarkan di PU, tapi memang setelah APBD di tetapkan ternyata tidak masuk,” jelasnya.

Berita terkait: Rumah Dinas DPRD Tak Dihuni, Akademisi: Dijual 50 Juta Saja

Karena itu, beberapa rumah dinas diinisasi sekwan untuk dihuni oleh beberapa orang pegawai, dengan tujuan ada yang merawatnya.

“Rumah itu tidak layak, hanya beberapa DPR saja yang tinggal sisanya saya koordinasi dengan DPRD untuk dihuni pegawai,” terangnya

Dia menuturkan, jika dilihat dari luar tampak baik-baik saja. Namun secara tegas Ali mengatakan bagian dalam rumah rusak berat dan perlu direhab.

“Kedepan kami dorong lagi untuk dianggarkan pada APBD tahun 2024 melalui PU, kalua tidak bisa, ya melalui sekwan, nanti hitungan RABnya kita minta dari PU,” Tutupnya.

Penulis: Gajali Fataruba

Rumah Dinas DPRD Tak Dihuni, Akademisi: Dijual 50 Juta Saja

MODERATORSUA.COM, SANANA – Sejumlah Rumah Dinas tak di tempati Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sula, Akademisi STAI Babussalam Sula sarankan untuk dijual.

Ungkapan itu disampaikan Wakil Ketua I STAI Babussalam, Mohtar Umasugi di group WhatsApp Informasi Sula.

Dalam pesan singkatnya, Mohtar menyayangkan kondisi rumah dinas yang semakin berantakan, lantaran tidak ditempati puluhan anggota DPRD.

“Saya tadi ke kampus, kemudian singgah jemput teman di komplek perumahan DPRD, sekedar melihat dan memperhatikan dari luar, kondisi rumah tidak terurus dan sangat memprihatinkan,” tulis Mohtar di WhatsApp group. Sabtu (12/08/2023)

Karena itu, Akademisi yang juga koordinator KAHMI Sula ini menyarankan, beberapa rumah dinas tersebut sebaiknya dijual.

“Kalau rumah itu tidak layak pakai, saya usul lebih baik dilelang atau di jual 50 juta saja,” pintanya

Menurut Mohtar, ada 22 rumah dinas anggota DPRD di Kampung Baru Sanana Utara. Namun kata dia, hanya 8 rumah yang berpenghuni.

“Ada 8 rumah yang ditempati, sisa 14 rumah yang tidak ditempati, jadi jual sudah. Kalau tidak mau jual, kasih kontrak,” tegasnya.

Ketua komisi II Ramli Sade saat dihubungi, membenarkan rumah dinas tersebut sudah tidak layak di tempat.

“Soal rumah dinas hubungi sekwan, karena rumah tersebut tidak layak untuk dihuni,” bebernya

Penulis: Gajali Fataruba

Polda Rekomendasi Empat Langkah, Atas Dugaan Pelecehan Oknum Musisi

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Unit PPA Polres Ternate direkomendasikan empat langkah, dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan musisi VS empat bulan lalu.

Empat langkah itu, tertuang dalam surat pemberitahuan dengan Nomor: B/1177/VII/2023/Reskrim yang diterima korban pada Jumat (28/07) dua pekan kemarin.

1. Penyidik diminta melakukan interogasi saksi yang mengetahui korban dengan terlapor VS memasuki hotel.
2. Kedua, Penyidik segera melakukan pemeriksaan psikiater terhadap korban.
3. Penyidik direkomendasikan untuk secepatnya melakukan pra merekonstruksi.
4. Dan penyidik harus melakukan konsultasi dengan ahli Bahasa dan ahli pidana.

Kepada moderatorsua.com, Kuasa Hukum korban Fahrizal Dirhan menyampaikan, langkah-langkah di atas merupakan hasil gelar klarifikasi bersama Polda maluku Utara.

“Iya setelah ada demonstrasi dari publik, baru digelar klarifikasi yang diminta oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda melalui kabag Was Sidik pada 24 Juli.” Beber Rizal Dirhan. Sabtu, (12/08/2023)

Atas hal itu, pihak LBH Marimoi selaku penasihat hukum berharap ada keseriusan dari Penyidik Unit PPA Polres Ternate.

“Kami selaku kuasa hukum korban terus mendampingi proses yang sedang berjalan, serta berharap ada perkembangan signifikan,” pintanya.

Sementara itu, Kanit PPA IPDA Naomi Harahap, menyampaikan pihaknya tengah membangun koordinasi.

“Iya 4 langkahnya lagi dilaksanakan. Sedang berkoordinasi dengan ahli,” singkatnya mengakhiri.

Untuk diketahui, dugaan tindak pidana pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum musisi VS ini, sudah dilaporkan ke Polres Ternate sejak 28 Maret 2023 lalu.

Penulis: Gajali Fataruba

Kisah Pilu Alat Tangkap dan Kehidupan Nelayan

Oleh: Sarfan Tidore

Senin, 05 Juli 2022, tepat pukul sembilan malam kondisi alam tampak tak bersahabat—hembusan angin kadang melambat disertai gerimis, sejenak berhenti, kadang kencang sekali.

Gas motor saya kencangkan dan knalpot teriak ramai menuju Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Berhenti di depan sebuah rumah kontrakan dan motor saya parkir di pinggiran jalan setapak. Pintu rumah terbuka lebar, ada tiga orang duduk bersila berhadap meja menatap lembaran buku, kala saya melempar pandang.

Saya melangkah masuk. Pandang saya tertuju pada sosok pria berusia senja duduk bersila, dan bersandar di dinding samping pintu kamar depan. Lelaki itu menarik tembakaunya dalam-dalam lalu melepaskan kepulan asapnya, sembari nikmati secangkir kopi hitam pekat. Kelopak mata dan senyumnya melebar. Selebar pintu di belakang saya. Saya pun lempar senyum lalu berjabat tangan sambil membungkuk kepala. Sudah menjadi tradisi orang Maluku Utara. Membungkuk adalah suatu laku perbuatan memiliki nilai yang melekat dan dianut bersama yang disebut, etika berjabat tangan. Tanpa basa-basi iapun dengan nada datar menawari saya kopi. Baru habis ngopi di warung kopi, ucap saya dengan perasaan begitu senang malam itu.

Lelaki usia senja ini bernama Muhammad Jen Tidore. Biasanya disapa om Pita. Berasal dari kepulauan Sula. Demi melepas rindu, om Pita pergi ke Ternate untuk bertemu anak bungsunya yang melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di Ternate.

Beberapa hari lalu saya menerima informasi dari teman saya bahwa beliau akan berangkat ke Ternate. Ada rasa gembira di lubuk hati, sebab sudah sangat lama saya ingin bertemunya untuk menggali informasi soal alat tangkap fofa (bubu). Ini adalah kesempatan terbaik, pikiran saya berkata.

Om Pita adalah generasi terakhir yang tahu dan pahami betul proses pembuatan alat tangkap ikan itu. Kesempatan itu akhirnya datang juga, dan menurut saya informasi ini sangat penting dan berharga, sebab—ada produk gagasan berada di ujung kepunahannya. Pria kelahiran 1952 ini tak kalah dalam pekerjaan—geluti dua pekerjaan sekaligus diantaranya nelayan dan petani. Dia menuturkan aktivitas melaut sejak usia 10 tahun. Gunakan perahu sampan, kail (kaihi) dan reket (nilon pancing ikan). Kaihi (kail) diikat di reket dan besi sebagai pemberat (lot)

Di ujung nilon yang jarak dari kaihi berkisar satu meter. Alat tangkap sederhana ini digunakan untuk bamai (mancing) ikan dasar.

Selain bamai (pancing), dia pun gunakan alat tangkap dan orang Sula menyebutnya fofa (igi) sebagai perangkap ikan. Fofa digunakan untuk menangkap ikan sejak dari tetenya lalu diturunkan kepada ayahnya. Saya tidak tahu pasti, katanya, bagaimana dan dari mana orang tahu cara pembuatan fofa. Tak sempat tanya pada mendiang ayahnya dari mana dan kapan orang tahu membuatnya dengan raut wajah agak sesali.

“Pengetahuan tentang fofa bisa jadi orang belajar dari alam. Fofa itu alat jebakan. Misalnya saja, di laut banyak batu dan karang yang memiliki lubang. Ikan bebas masuk-keluar, bermain, bertelur, cari makan dan tidur”.

Pengalaman lewat mata, orang berpikir bagaimana caranya dapat ikan dengan jumlah banyak. Dengan begitu, bisa saja melalui penglihatan orang kemudian berpikir untuk bikin alat tangkap serupa batu yang ikan dapat masuk, tetapi tidak dapat keluar. Pengalaman itu, dan lewat akal orang dapat ciptakan fofa, katanya menduga.

Dia menjelaskan, setahunya sejak masih kecil hingga dewasa ayahnya adalah pembuat alat tangkap fofa. Sejak kecil saya sering membantu ayah ambil bahannya di hutan dan bantu membuatnya. Hingga akhirnya, saya pun tahu membuatnya tanpa diajari secara langsung, kenangnya.

Melalui mata dan kerja, kita bisa tahu—tak perlu diajari langsung, katanya. Kalau hanya dijelaskan masih sulit kita tahu. Tetapi mengerjakan adalah cara belajar paling cepat. Dari sekian banyak anaknya, hanya satu yang mahir membuat fofa. Tetapi anaknya juga merantau, jarang pulang dan saya pun tak tahu pasti apakah dia masih tahu bikin atau tidak.

Rokok tembakau ditarik dalam-dalam lalu meniup asapnya sembari dengan nada pesimis mengatakan, sayang sekali fofa sudah jarang digunakan orang untuk menangkap ikan. Mungkin suatu ketika alat tangkap ini akan hilang, prediksinya. Padahal fofa (bubu) adalah satu dari sekian alat tangkap ikan tradisional yang tidak merusak ekosistem laut.

Hilang bukan karena hilang, katanya, tetapi tidak ada lagi yang mempelajarinya. Padahal bahannya sederhana, tak butuh biaya ketimbang alat tangkap modern. Saat ditanya, jika dibikin dalam jumlah banyak bukankah rotan, bambu dan tali hutan terancam habis.

Dia menjelaskan cara berpikir seperti demikian tidak tepat. Bila membuatnya dalam jumlah banyak sudah pasti mereka lindungi rotan, bambu dan tali hutan. Yang hilang bukan bahannya (artefak), tetapi pengetahuannya tidak dipelajari generasi.

Air mata langit dan angin malam itu seolah bersetubuh dan mendesah kencang akibatnya—hawa dingin menerabas tubuh hingga tulang lelaki usia senja itu. Iapun berkeluh dingin dan ngantuk sekali. Kopi hitam pekat pun tak mampu menangkis ngantuknya dan kami pun memutuskan tali perbincangan.

Kisah dan jenis alat tangkap lainnya datang dari seorang nelayan asal Tidore Kepulauan (Tikep). Sore itu, 13 April jarum jam tepat pukul empat. Pesisir pantai desa Cobodoe, Kecamatan Tidore Timur, Maluku Utara. Sore itu air laut sedang pasang dan saya lihat lima orang bolak-balik memegang semacam entah kayu atau besi seukuran jari tangan dan ditaksirkan satu meter.

Mereka merunduk lalu tangan dimasukkan ke dalam air mengambil sesuatu dan ditaruh di dalam ember. Kadang menusuk-nusuk menggunakan penggalan besi atau kayu tersebut. Saya menduga, mereka sedang mencari kerang dan gurita.

Laut begitu teduh. Sampah plastik menempel di bebatuan dan batang kayu lalu bergoyang mengikuti irama riak ombak kecil di tepi pantai. Hutan pegunungan menghadirkan pemandangan hijau nun indah dan angin sepoi membuat kelopak mata menahan ngantuk.

Om Man nama sapaannya. Nama sebenarnya Abdurrahman penduduk desa Cobodoe, nelayan tangkap ikan. Duduk di tempat duduk panjang memandangi laut. Di samping kanannya ada sebuah ember biru kecil dan dalamnya ada tiga gulungan nilon. Saya menduga kalau pria ini siap-siap mau melaut.

Ternyata dugaan saya meleset. Saya pun sodorkan pertanyaan, om Man mau mangail (melaut)? Tarada (tidak) jawabnya. Saya hanya ikat gumala (kail) di nilon, lanjutnya sambil senyum tipis lalu melempar pandang di ember berisi nilonnya.

Om Man biasa mangail dimana? Tanya saya. Dia menghela nafas panjang lalu menatap lautan juah. Yaa, kalau mau dapat hasil tangkapan lebih, mangail dekat pulau Halmahera sana. Kenapa tidak dekat-dekat, di depan sini misalnya. Tanya saya sambil menunjuk seseorang dengan perahu sampan di depan kami yang jaraknya diperkirakan 300 meter.

Ia melempar pandang pada perahu itu lalu berkisah pengalaman melautnya. Sudah berulang kali saya mangail (melaut) di depan sini, jangankan jual, makan saja tak cukup. Terkadang hanya dapat dua ekor itupun butuh berjam-jam dan menahan terik panas yang serasa membakar tubuh. Sambil perlihat kulit di batang tangannya, lihat kulit saya, biskotu (hitam) kayak aspal sambil melebarkan tawanya.

Barangkali ikan sudah tak ada di sekitar ini, lanjutnya lalu menunduk pesimis. Ngana (kamu) tahu, padahal dulunya mangail (pancing) di malam hari kita cukup duduk di pesisir laut dan hasilnya juga banyak. Bahkan bisa jual di tetangga, katanya.

Apalagi gunakan perahu, sambil menunjuk seorang nelayan sedang melaut di depan kami dan berkata, itu sudah sangat jauh. Seratus meter dari garis pantai dan dua jam saja, hasilnya sangat memuaskan.

Sambil menunjuk air laut dan dia menjelaskan lihat saja, laut sekarang tidak lagi jernih. Air laut makin keruh, berkabut, sampah juga banyak. Yang saya heran adalah dulu batu dan terumbu karang banyak sekali. Tapi sekarang malah banyak pasir, batu dan terumbu karang jauh berkurang.

Dulu kalau mandi pantai hampir tak ada pasir. Berenang lalu berdiri di atas batu-batu besar setinggi tiga sampai empat meter. Anehnya—batu-batu itu tak lagi ada dan bahkan air laut makin hari tamba naik mendekati perumahan penduduk. Untung-untung ada swering. Jika tidak, mungkin—sudah mlelewati batas swering.

Benar adanya, sebab bersama ipar saya, pernah kami memasang jaring dan tak ada batu maupun karang. Hanya pasir putih dan lamun pun hidup kelompok-kelompok kecil. Sekali waktu memasang jaring mulai azan magrib hinga jam sepuluh malam dan hanya dapat empat ekor ikan samandar (uhi) panjang lima senti meter, tipis kurus kerempeng. Sejak saat itu saya tak lagi ikut menjaring ikan.

Sekarang ini bila ingin mendapat hasil tangkapan banyak kita harus melaut di laut jauh. Entah mungkin karena pengaruh batu, terumbu karang dan air lautnya kotor berakibatnya—ikan pindah di tempat lain, katanya.

Om Man menjelaskan, beberapa kali saya melaut di lauatan Halmahera mulai jam sembilan malam hingga jam lima subuh—hasilnya hanya delapan ekor. Tiba-tiba raut wajahnya berubah tiga puluh derajat. Ada rasa sedih di raut wajahnya dan berkata, selama tiga bulan saya tak punya pendapatan sama sekali.

Tiga bulan itu saya berutang untuk membayar biaya sekolah anaknya. Beginilah kehidupan nelayan, pendapatan tergantung cuaca dan hasil tangkap, katanya, sambil menunduk dan mengatup matanya. Kedua telapak jarinya, ia angkat lalu mengusap wajahnya sedikit menindih.

Musim ikan pun berubah-rubah, tak menentu. Mungkin pengaruh alam. Dalam berbagai literatur perubahan ini adalah fakta soal pemanasan global, bukan perubahan alam secara alamiah. Pikiran saya berkata dalam diamku.

Nelayan kecil seperti kami ini, tak berharap banyak menambah pendapatan dari hasil melaut. Sebab, menjauhnya ikan ke laut dalam bikin banyak nelayan tercekik—pendapatan menurun drastis. Mereka yang menggunakan perahu bermesin saja pulang melaut bukannya untung—malah rugi. Harga hasil tangkapan tak dapat menutupi harga minyak.

Om Man menceritakan kisah temannya. Temannya beli perahu ketinting dengan harga tiga puluh juta. Perahu itu digunakan melaut selama satu tahun lebih dan pendapatan belum sampai setengah dari modal yang dikeluarkan. Bahkan terkadang temannya sering ribut dengan istri karena melaut tak dapat hasil.

Sekali waktu istri memarahinya dan bilang, perahu itu sebaiknya dijual saja bila tak menghasilkan uang. Percuma buang-buang uang, tak ada guna dan bikin hidup kita tambah susah, om Man mengutip perkataan istri temannya sambil menggeleng kepala. Saya berupaya membaca pikirannya, semacam ada rasa sesali atas keputusan temannya

Nelayan kecil seperti kami ini sulit untuk berkembang. Tuhan pun tak bisa menolong. Sambil tertawa lepas, hahahahaaaa, basedu (bercanda), katanya.

Bagaimana menurut ngana (kamu), Om Man bertanya. Hmmmm, saya tidak tahu soalnya belum pernah mangail (melaut) di sini. Dari balik pintu kios terdengar suara seseorang memanggilnya, om Man, om Maaann. Sayaaaaa, sahutnya. Kami pun mengakhiri pembicaraan kala senja melukis bentuknya sore itu. Suara tarhim di mesjid pun mulai berkumandang, penanda bahwa terang perlahan ditelan malam.

Saya mencatat kisah kedua nelayan ini sebagai kisah pilu kehidupan nelayan dan alat tangkap tradisional sedang berada di tepi kepunahan. Suatu perubahan yang justeru mengancam pengetahuan lokal, dan dalam kaitannya dengan kerentan ekonomi nelayan. Adalah akibat dampak modernitas dan degradasi ekosistem laut.

Editor: Tim

Teriak Dua Periode di Isda Sula, Kadis P3A: Tidak Ada Kampanye Politik

MODERATORSUA.COM, SANANA – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Sehat Umagap diduga berkampanye di Istana Daerah Kabupaten Kepulauan Sula.

Aktivitas itu terekam di live streaming akun facebook @Umanahu Tidore, pada salah satu kegiatan yang berlangsung di Istana Daerah empat hari lalu, Senin (07/08)

Live streaming berdurasi 7 menit 34 detik itu, terlihat Sehat Umagap berdiri di depan mengenakan kaos berwarna merah, celana hitam dan penutup kepala hitam.

Awal video, Sehat meminta peserta kegiatan mengikuti ucapannya. Usai memberi aba-aba, semua peserta pun mengikuti ucapan kepala dinas tersebut.

“Kalau saya berteriak Srikandi, kalian semua berteriak satu arahan, kalau saya berteriak Eta Sua, kalian berteriak dua periode. Mantap,” ajak Kadis PPPA Sehat Umagap. Dikutip video live streaming.

Diketahui Srikandi merupakan sekelompok perempuan yang bergerak sebagai tim pemenang Fifian Adeningsi Mus dan Saleh Marasabessy saat pilkada tahun 2020.

Dan Eta Sua adalah nama lain dari Fifian Adeningsi Mus diambil dari bahasa Sula, yang artinya Perempuan Sula. Istilah itu juga digunakan pada awal Fifian mencalonkan diri sebagai Bupati saat itu.

Sementara itu Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sehat Umagap, membantah kalau dirinya tidak berkampanye politik pada kegiatan tersebut.

“Yeh jangan diolah (diplintir). Tidak ada kampanye politik disitu. Saya lebih banyak kampanye kekerasan dan perlindungan terkait perempuan dan anak,” bantah Sehat Umagap saat dikonfirmasi moderatorsua.com, Kamis (10/08/2023)

Menanggapi hal itu, Ketua Bawaslu Sula Iwan Duwila mengimbau agar kepala dinas terkait mampu menempatkan diri sebagai ASN.

“Soal ini seharusnya mereka (Sehat Umagap) bisa menempatkan Isda pada posisinya, itukan fasilitas daerah dan dibiayai oleh daerah, seharusnya tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik,” Singkat Iwan.

Editor: Tim

Laporan Dugaan Pemerkosaan, Terkesan Diabaikan Polsek Oba Selatan

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Laporan tak kunjung diproses, kuasa hukum korban pemerkosaan di Desa Selamalofo, mengecam sikap penyidik Polsek Kecamatan Oba Selatan.

Diketahui pada Rabu 02/08/2023 diduga telah dilakukan tindak pidana pemerkosaan oleh MY, terhadap korban penyandang disabilitas di Desa Selamalofo, Kecamatan Oba Selatan, Tidore Kepulauan.

Kejadian itu, lantas diadukan ke Polsek sejak Jum’at 04/08/2023, namun hingga kini tak kunjung dikembangkan. Pihak Polsek Oba berdalih kekurangan sumberdaya.

“Pada (09/08) kami penasihat hukum datang ke Polsek guna memasukkan surat kuasa sekaligus berkoordinasi terkait kasus yang sudah dilaporkan, tapi tidak ada hasil apa-apa,” kata Fahrizal Dirhan pada moderatorsua.com, Kamis (10/08/2023).

Tak sampai disitu, pihak LBH Marimoi kemudian melakukan komunikasi persuasif dengan Kanit Reskrim Polsek Oba, namun tidak dikonfirmasi.

“Hal ini kemudian membuat kami berkoordinasi secara pribadi dengan Kanit Reskrim Polsek Oba via whatsapp, namun belum ada respon hingga press release ini dibuat,” beber Penasihat Hukum korban.

Baca juga: Pemkot Ternate Didesak, Naikkan Gaji Pegawai Tidak Tetap

Padahal laporan tersebut telah memasuki hari ke lima sejak dilaporkan. Selain interval waktu, juga dua orang saksi serta terduga pelaku yang telah mengakui perbuatannya dan saat ini berlindung di Polsek Oba.

“Seharusnya fakta tersebut sudah bisa dilakukan penyelidikan oleh penyidik Polsek, karena telah sesuai UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan UU nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), terkait bukti permulaan sudah cukup,” jelas LBH Marimoi.

Atas kejadian itu, Keluarga korban serta LBH Marimoi akan melaporkan ke Polda Maluku Utara guna mendapatkan kepastian hukum.

“Kami beri waktu sampai hari Senin (14/08), jika tidak ada perkembangan, maka kami (PH) dan keluarga korban akan memasukkan laporan ke Polda Maluku Utara,” tegasnya

Sampai berita ini diturunkan, pihak Polsek Oba Selatan belum bisa dikonfirmasi.

Sumber: LBH Marimoi

Pemkot Ternate Didesak, Naikkan Gaji Pegawai Tidak Tetap

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Komisi II DPRD mendesak pemerintah Kota Ternate melakukan penyesuaian kenaikan gaji Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada APBD tahun 2024.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi II DPRD Kota Ternate, Mubin A. Wahid, menurutnya gaji PTT Kota Ternate sudah sepantasnya sesuai standar Upah Minimum Pekerjaan (UMP).

“Didorong agar ada peningkatan gaji PTT, karena selama ini kurang lebih 4 sampai 5 tahun tidak pernah mengalami kenaikan (gaji),” terang Ketua Komisi II pada wartawan, Rabu (09/08/2023)

Dia menyebut, secara kolektif DPRD Kota Ternate telah sepakat rencana kenaikan gaji PTT. Menurut dia, gaji Rp 1,1 juta dan Rp 900 ribu tersebut tidak sesuai beban kerja.

“Gaji seperti itu bagi kami kalau dibiarkan terus-menerus berarti kita sudah melakukan satu penzaliman terhadap warga negara. Mereka punya hak untuk hidup dan memperoleh pendapatan yang layak,” tegasnya

Pihaknya meminta dukungan media untuk perjuangkan kenaikan gaji ribu orang Pegawai Tidak Tetap (PTT) di lingkup Pemerintah Kota Ternate.

“Kami juga berharap ada dukungan media supaya harapan kita bisa tercapai di tahun anggaran 2024 ini, karena teman-teman PTT jumlahnya ribuan orang jadi gajinya harus naik” pinta Mubin.

Soal rencana tersebut, Mubin mengaku sudah sampai ke telinga Wali Kota Ternate. Sehingga kata dia, seharusnya menjadi atensi atas saran yang disampaikan.

“Kenaikannya berapa itu, nanti dilakukan perhitungan. Tapi keinginan komisi II pada 2024 ini diupayakan gaji PTT sudah setara UMP, baik yang berijazah sarjana maupun SMA,” tutupnya.

Penulis: Gajali Fataruba

Ayah Bejat di Ternate Diduga Setubuhi Anak Kandungnya Lalu Menghilang

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Seorang pria inisial A di Kecamatan Ternate Tengah, dilaporkan ke Polisi karena diduga setubuhi dan lecehkan dua anak kandungnya yang masih di bawah umur.

Menurut keterangan Bhabinkamtibmas setempat, A diduga memperkosa anaknya yang berusia 13 tahun dan mengelus-elus kemaluan anaknya yang baru berusia 6 tahun.

Parahnya, perbuatan bejat itu sudah dilakukan berulang-kali oleh A pada kedua anaknya yang masih kecil tersebut

”Kalau saya lihat bukan masalah pencabulan, tapi persetubuhan di bawah umur. Saya tanya sudah berapa kali papa lakukan itu (perkosa), anaknya bilang sudah sekitar 5 kali, namun saya belum sempat tanyakan tahun bulan dan tanggal berapa,” kata Bhabinkamtibmas Bripka Maman S. Bopeng. Senin (07/08/2023)

“terus anak kedua yang umur 6 tahun, bilang. Papa sudah pegang-pegang kemaluan dengan jari” sambungnya

Bripka Maman sempat kesal pada warga setempat, lantaran terlambat memberi informasi.

“Saya dan Pak Babinsa sudah cari pelaku di TKP tapi hasilnya nihil, mungkin dia sudah tahu masalahnya jadi dia menghilang. Saya sempat marah pada warga dan ibu korban karena anaknya ceritakan itu sebelum waktu solat Isya,” kesalnya

Namun kata dia, ayah korban melarikan diri ke Pulau Halmahera dan saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Polres setempat.

“Informasi dari beberapa keluarga korban, katanya pelaku berada di Halbar Jailolo, tapi Kanit Buser Polres Ternate sudah komunikasi dan sementara melakukan pencarian,” terangnya.

Mamam menceritakan, dirinya menerima laporan kemarin pada pukul 23.30 wit tapi bukan dari ibu kandung korban.

“Korban sudah ceritakan pada Ibunya, tapi mungkin si ibu marah, takut atau trauma jadi masih rahasiakan. Tapi setelah itu mungkin sudah tidak tahan, lalu curhat pada tentangganya. Nah dari situ informasi dilaporkan kepada kami di jam stengah 12,” ungkap Bhabinkamtibmas.

Menindaklanjuti persoalan tersebut, Bhabinkamtibmas langsung mendampingi kedua korban dan ibunya untuk melakukan laporan resmi ke Polisi.

“Saya sudah arahkan mereka ke Polres Ternate tadi pagi, dan sudah buat laporan polisi serta visum di rumah sakit Bhayangkara, tapi hasil belum tahu. Saat ini korban dan ibunya sudah diperiksa penyidik,” tutupnya

Penulis: Gajali Fataruba

Tugboat Tenggelam, 3 Orang Dalam Pencarian

MODERATORSUA.COM, TERNATE – Satu unit kapal tujuan Papua Barat Daya tenggelam di perairan Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Dari kejadian naas itu 3 orang kru kapal sampai saat ini masih dalam pencarian Tim SAR.

Menurut press release yang diterima redaksi moderatorsua.com, Basarnas menyebut terdapat 7 orang yang ikut dalam pelayaran itu, 4 orang berhasil menyelamatkan diri.

“Pada tanggal 06 Agustus 2023 pukul 11.45 WIT, terima informasi dari Kapolsek Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan, bahwa warga Desa Kukupang menemukan 4 orang terapung di atas Lovecraft di Tanjung Joronga dan dievakuasi ke Desa Kukupang,” tulis Basarnas

Diketahui kapal tersebut merupakan tugboat (kapal tunda) yang memuat alat berat dari pelabuhan Weda Halmahera Tengah.

Usai menerima informasi, Tim SAR gabungan yang terdiri dari TNI AL Bacan, Polairud Bacan, BPBD HalSel, Polsek Saketa dan warga setempat.

“Setelah menerima laporan tersebut, tim SAR gabungan bergerak menuju LKP menggunakan RB 309 Ternate untuk melakukan pencarian,” ungkap Kepala Basarnas Ternate Fatur Rahman.

Berikut identitas korban.
Korban selamat: Roi 42 tahun, Teklis 53 tahun, Jeremi Pasan 55 tahun dan Rikman 58 tahun
Korban dalam pencarian: Dedi, Teos dan Prediksa.
Identitas Kapal:
Nama: Kapal Modern Putra Samudra
Jenis: Tugboat
Muatan: Alat Berat
Rute: Pelabuhan Weda Maluku Utara – Sorong

Penulis: Gajali Fataruba
Sumber: Release Basarnas

Catatan Dibalik Gempa, di Gane Barat

Sedih mencekam pada raut wajah penduduk Gane kala itu. Tangis pun pecah membelah hening, disaat penduduk menatap puing-puing rumahnya yang hancur. Gempa (bencana alam) diduga hanya menyisakan proyek meraup untung oleh segelintir orang.

Oleh: Sarfan Tidore

Penduduk desa di Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara mengungsi di pesisir pantai, bukit, jalan-jalan dengan peralatan, pakaian dan makanan seadanya. Suasana tampak ramai, tapi juga sedih dan luka dalam diam pada raut wajah mereka.

Tulisan cakar ayam ini hanyalah catatan perjalanan sewaktu saya melakukan kegiatan survey pada Agustus 2022 di sebuah desa, yakni Desa Lemo-Lemo, Kecamatan Gane Barat, Halmahera Selatan.

Pada suatu siang panas sang surya tak mengenal belas kasih, di pesisir pantai Desa Lemo-Lemo hari itu menyisakan puing-puing rumah yang hancur-berantakan. Adalah suatu kondisi yang menggambarkan kondisi masyarakat sedang berjuang memperbaiki kehidupan setelah bencana alam.

Tasin (inisial red), seorang penduduk Desa Lemo-Lemo mengenang kisahnya dan mengatakan: hari itu, tepat 14 Juli 2019 Penduduk Gane diguncang gempa bumi berkekuatan hingga 7,2 magnitude. Skala getarannya hampir dirasakan semua penduduk di Maluku Utara.

Rumah dan seisinya bergoyang lalu terpelanting. Penduduk terbangun dari tidurnya dengan panik, mereka berupaya menyelamatkan diri dari ancaman maut. Teriakan, tangisan bergema di jalanan sembari berlari menuju ketinggian.

“Pasca gempa sebagian orang menatap puing-puing rumahnya yang hancur dengan sedih dan luka. Tak ada kelakar, senyum, hanya menyisakan kesedihan begitu mendalam sampai-sampai tangis ibu-ibu pun pecah membelah hening,” kata Tasin.

Di Desa Lemo-Lemo, katanya, 79 rumah kategori rusak berat, 39 rusak sedang dan 3 rumah rusak ringan. Pemerintah Halmahera Selatan, lewat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupaya mengatasi penderitaan mereka dan membangun bangun Rumah Tahan Gempa (RTG). Proyek ini ditangani oleh seorang aplikator bernama Tomas. 

Tasin menjelaskan rencana pembangunan RTG ini bahkan tidak dilakukan sesuai prosedur, sebab tak ada sosialisasi dan secara tiba-tiba pemerintah desa membentuk Persatuan Organisasi Masyarakat (Pokmas). Tujuan dibentuknya Pokmas adalah untuk mengurusi persyaratan administrasi pembangunan RTG, dan Hatab seorang warga dipercayakan sebagai ketua Pokmas.

Total dana Rumah Tahan Gempa senilai Rp 3.950.000.000 (tiga milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah). Dana satu unit rumah senilai Rp 50.000.000 (juta) dan 79 rumah kategori rusak berat yang rencananya akan dibangun RTG.  

Pada Maret 2021, BPBD memberikan DP (dana pinjaman) kepada aplikator 30 persen dari total dana 50 juta/unit rumah. Dana sebanyak Rp 237.000.000 ditransfer kepada aplikator, katanya, dengan tujuan pengurusan bahan dan peralatan. Tetapi hingga akhir Maret tidak ada informasi sama sekali. Padahal waktu itu mereka dijanjikan bulan April bahan-bahan bangunan RTG sudah didatangkan aplikator.

Tasin menjelaskan, diawal bulan April Pokmas bertemu kepala BPBD dan mendiskusikan masalah tersebut, mengapa RTG belum juga terlaksana. Alasan belum direalisasikannya RTG karena pertama, aplikator terkendala pandemik covid-19. Kedua, pesanan bahan dan peralatan belum tersedia dipasaran akibatnya tertunda. 

“Pada pertemuan itu kami pun meminta agar dana itu ditransfer ke penerima agar dibangun oleh masing-masing orang yang rumahnya kategori rusak berat. Tak bisa selamanya kami tinggal di gubuk pengungsian,” katanya. Pihak BPBD tak mau mencairkan dana kepada penerima dengan alasan jangan sampai disalah-gunakan dan dana tersebut akan ditransfer kepada aplikator untuk membelanjakan bahan-bahan RTG.

Di pertengahan April Pokmas melakukan pertemuan dengan DPR. DPR bahkan menyampaikan ternyata mereka baru mengetahui adanya pembangunan RTG oleh Pemerintah daerah. Pertemuan dengan dewan pun tidak membuahkan hasil pasti yang memuaskan. Mereka (DPR) sebatas berjanji akan membantu berkoordinasi dengan Pemda agar mempercepat prosesnya.

Pada bulan Mei, lagi-lagi Pokmas mendatangi kantor BPBD dan mereka meminta kejelasan mengapa RTG masih belum terealisasi. “Karena tidak mendapat kejelasan pasti yang masuk akal akibatnya mereka membatalkan pembangunan RTG di Desa Lemo-Lemo.”

Tasin menjelaskan bahwa, Rumah Tahan Gempa ini sebenarnya sejak awal sudah ditolak penduduk desa. Sebab rumahnya kecil, atapnya pun rendah dan hanya terdapat dua kamar tidur. Hanya saja kami dibujuk oleh seorang Juknis (Petunjuk Teknis) murah hati dan mengingat karena tinggal di gubuk pengungsian hingga kami pun harus menerima kehendak pemerintah daerah.

Dia menjelaskan, “kami terkena gempa hidup dalam kubangan penderitaan, kesengsaraan, kesedihan dan justru diduga dijadikan proyek meraup untung oleh segelintir orang. Atau dengan kata lain, bencana adalah momentum penting mengeksploitasi penderitaan masyarakat oleh oknum pejabat publik dan swasta. Sebab dana itu akhirnya hilang, entah dikemanakan atau hilang termakan waktu.

Situasi ini sejalan dengan konsep Naomi Klein, yang disebut “Disaster Kapitalism” (kapitalisme bencana). Kondisi bencana membawa tiga agenda besar bagi pemerintah yakni, (1) peningkatan peran konstituen swasta, (2) menjadikan bencana sebagai alat dan celah masuk kepada ketergantungan terhadap negara (pemerintah), dan (3) mempromosikan kepentingan pengusaha swasta, (Dewi, dkk 2020). 

Bencana yang terjadi dan lagi-lagi disaat bersamaan dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha dan elit lokal demi kepentingan mereka tanpa memperhatikan efek dari perbuatannya. Suatu perbuatan menambah panjangnya jurang penderitaan terhadap masyarakat.

Masyarakat yang rentan secara ekonomi, kehancuran dan perjuangan untuk pulih justru dieksploitasi setelah terjadinya bencana. Kerentanan tersebut menjadi semakin nyata ketika swasta campur tangan dalam upaya memperbaiki kondisi hidup masyarakat. Situasi ini tampak begitu nyata dalam kebijakan pembangunan Rumah Tahan Gempa di Desa Lemo-Lemo yang kala itu dipimpin oleh rezim Bahrain Kasuba dan melalui pihak kedua.

Kapitalisme bencana, terjadi ketika kepentingan pribadi turun ke wilayah tertentu setelah peristiwa destabilisasi besar, seperti…dan bencana alam, tulis Klein. Merupakan suatu tanggapan terhadap bencana dalam melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat, tetapi juga, sebagai peluang lain untuk memperoleh keuntungan dibalik bencana alam.

Perbuatan tersebut menghadirkan kepasrahan masyarakat pada situasi dan terjun bebas dalam jurang penderitaan. Hingga titik tertentu masyarakat berupaya beradaptasi agar setidaknya dapat keluar dari kondisi yang mereka alami tanpa ketergantungan pemerintah. Konsep adaptasi menurut Mulyadi, adalah bagian dari proses evolusi manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. 

Sejalan dengan itu, saya pun menerima informasi dari penduduk bahwa mereka tak lagi mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah. Kala itu masyarakat lantas memutuskan membangun rumahnya masing-masing dan tak mengharapkan lagi bantuan pemerintah. Ada 27 kepala keluarga dengan jerih payah dan tahap demi tahap mereka membangun rumahnya menggunakan dana pribadi. Meskipun belum selesai 100%, tetapi sudah bisa ditempati dan luas rumah pun tidak sesempit RTG.

Tasin menjelaskan sejak bupati Usman dilantik, pemerintah daerah mulai menaruh perhatian terhadap masyarakat Gane yang kena gempa. Pada Juli 2022 anggaran tahap pertama telah dicairkan dan 27 rumah yang menggunakan dana pribadi diganti oleh pemerintah daerah. 

Sedangkan 52 rumah lainnya sekarang masih dalam proses membangun dan desain rumah yang dibangun pun sesuai kehendak penduduk, bukan Rumah Tahan Gempa. Dana bantuan pun dikirim langsung ke rekening masing-masing penerima bantuan, tidak lagi lewat pihak kedua (swasta) seperti yang dilakukan mantan bupati Bahrain Kasuba.

Editor: Tim